Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Iklim Berdampak pada Ketidaksetaraan Gender

Kompas.com - 25/03/2024, 10:32 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

Para pelaku kekerasan dan perdagangan manusia akan lebih mudah menyasar perempuan yang berada di kota-kota asing atau mereka yang terpaksa tinggal di kamp-kamp dan tempat penampungan padat yang penuh orang asing.

“Ketika kita melihat siapa yang terkena dampak terburuk, siapa yang berada di garis depan krisis iklim, maka yang paling utama adalah perempuan-perempuan di negara-negara miskin dan rentan,” kata Selwin Hart, penasihat khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Aksi Iklim dan Transisi Adil, kepada CNN.

Nigeria

Berdasarkan data UNICEF, lebih dari 10 juta anak usia lima sampai dengan 14 tahun tidak bersekolah di Nigeria. Di wilayah timur laut dan barat laut negra itu, tidak sampai setengah dari total keseluruhan anak perempuan bisa bersekolah.

Tingginya jumlah anak-anak tidak bersekolah di Nigeria didorong oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, geografis, dan diskriminasi gender. Isu ini kemudian juga diperparah dengan krisis iklim.

Suhu di Nigeria terus meningkat, membuat negara tersebut semakin panas dan kering. Cuaca ekstrem yang mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor semakin sering terjadi. Bencana-bencana alam akibat iklim seperti ini dapat mengakibatkan sekolah-sekolah sulit diakses dan tidak aman.

Tidak hanya itu, keluarga-keluarga yang kesulitan akibat krisis iklim seringkali memanfaatkan anak-anaknya untuk membantu perekonomian keluarga. Banyak perempuan Nigeria yang sehari-harinya sudah dilarang bersekolah, kini semakin sulit untuk memperoleh pendidikan akibat dari kondisi ini.

Brasil

Hutan hujan Amazon menyerap lebih banyak karbon dioksida di atmosfer daripada yang dilepaskan, menjadikannya hutan penyerap karbon yang paling penting. Sayangnya, krisis iklim dan deforestasi untuk pertanian dan peternakan mengancam keberlangsungan Amazon. Jika terlanjur kritis, maka akan sulit dipulihkan kembali.

Di Brasil timur laut, sekelompok perempuan di Lembah Amazon berupaya menentang perusahaan-perusahaan besar yang dengan ketat mengendalikan hutan Amazon. Sebanyak 60 perempuan pengumpul kelapa dari pohon palem babassu asli yang diwawancara CNN berkata bahwa kehidupan mereka semakin terancam karena perusahaan pertanian besar terus menebang hutan dan membatasi akses mereka ke pohon-pohon tersebut.

Sebagai respon, sebanyak 2.000 perempuan bersatu membentuk Gerakan Pemecah Kelapa Babassu untuk melindungi dan menjamin akses terhadap hutan palem asli babassu. Kelompok ini mengatakan kepada CNN bahwa gerakan mereka ini bukan hanya untuk memperjuangkan ketahanan pangan, melainkan sebagai perjuangan kesetaraan gender.

Filipina

PBB menemukan, tingkat perdagangan manusia di Filipina meningkat pasca Topan Haiyan di tahun 2013 yang menewaskan sekitar 6.000 orang.

Sebagai langkah penanganan, Filipina membentuk beberapa organisasi yang berdedikasi untuk mengakhiri perdagangan manusia. Salah satunya yaitu Yayasan Bantuan Pembangunan Pemberdayaan Pemulihan Rakyat (PREDA) yang berfokus dalam membantu membebaskan perempuan dari rumah bordil dan pedagang seks serta menyediakan perlindungan bagi mereka.

Pakistan

Kota Jacobabad di Provinsi Sindh, tenggara Pakistan, merupakan salah satu kota terpanas di Bumi. Tahun 2022, gelombang panas ekstrem di provinsi tersebut menyebabkan peningkatan suhu sampai dengan 50 derajat Celcius.

Wanita di Sindh yang sedang hamil mengatakan kepada peneliti dari organisasi nirlaba kesehatan ibu, White Ribbon Alliance, bahwa mereka mengalami banyak sekali masalah kesehatan, termasuk pingsan, mual, kehilangan nafsu makan, dan dehidrasi.

Banyak dari mereka yang tidak punya pilihan dan harus tetap bekerja serta sering berada di luar ruangan. Kondisi semakin memburuk akibat kurang istirahat dan suhu terik, membuat tubuh mereka semakin terbebani.

Bahkan setelah melahirkan, beberapa perempuan melaporkan kesulitan menyusui di cuaca panas. Banyak ibu yang khawatir terhadap kesehatan bayi mereka yang baru lahir karena rumah mereka yang panah, tanpa kipas angin atau cara lain untuk tetap sejuk. Para perempuan tersebut menuntut dukungan keuangan yang lebih baik dan akses terhadap panel surya untuk menyalakan kipas angin.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com