Pasar litium didominasi oleh segelintir pemain di Australia (penambangan batuan keras) dan Amerika Selatan (penambangan air asin) yang menyumbang 85 persen dari produksi litium.
Schmidt menambahkan, jika perusahaan-perusahaan ini berambisi memenuhi permintaan litium yang terus meningkat, mereka perlu berinvestasi hingga 10 miliar Euro (Rp 170 triliun).
Baca juga: Inspirasi Energi: Pengembangan Energi Surya Global Terancam Melambat karena Harga Komponen Meroket
Saat ini, hanya 10 persen dari litium yang terkandung dalam baterai mobil listrik yang dapat didaur ulang.
Mengingat permintaan yang melonjak namun persediaannya terbatas, Uni Eropa merumuskan target daur ulang baterai yang ambisius.
Blok tersebut menargetkan bahwa sekitar 70 persen litium harus bisa didaur ulang dari baterai pada 2030.
"Untuk memenuhi target tersebut, kami membutuhkan infrastruktur daur ulang dengan semua industri terkait. Tetapi ini belum ada, karena kami belum memiliki perkiraannya,” kata Schmidt.
Baca juga: Inspirasi Energi: Peluang dan Tantangan Menuju Nol Emisi Karbon
Bahkan jika infrastrukturnya sudah mapan, mendaur ulang litium dari baterai mobil tidak semudah yang dibayangkan.
Litium merupakan bahan yang mudah terbakar. Komponen ini juga memerlukan perlakuan dan penyimpanan khusus. Menurut Schmidt, hal itu terlalu mahal untuk sekarang.
Selain itu, ada juga faktor lingkungan yang mendukung bahwa litium tidak seharusnya didaur ulang.
"Litium yang didaur ulang mungkin tidak berkualitas untuk baterai. Ada kemungkinan bahwa langkah pemrosesan lebih lanjut akan diperlukan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan biaya produksi dan meningkatkan jejak karbon dioksida," kata Schmidt.
Baca juga: Inspirasi Energi: G7 Kembali Berkomitmen untuk Energi Bersih
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.