Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapa Akan Mengendalikan Jalur Gaza Seusai Perang?

Kompas.com - 03/07/2024, 14:14 WIB
Egidius Patnistik

Penulis

Sumber Reuters

RENCANA Israel untuk Jalur Gaza pasca-perang, yang diusulkan kepada sekutu-sekutu Amerika Serikat (AS), adalah menangani wilayah itu bekerja sama dengan keluarga-keluarga lokal yang berpengaruh. Namun permasalahannya, di wilayah di mana Hamas masih punya pengaruh yang kuat, tidak ada seorang pun yang ingin terlihat berbicara dengan musuh.

Israel berada di bawah tekanan Washington untuk menghentikan operasi militer, yang telah menyebabkan puluhan ribu nyawa manusia melayang, setelah berlangsung hampir sembilan bulan. Namun Israel tidak ingin Hamas mengambil alih lagi kekuasaan di daerah itu saat perang berakhir.

Karena itu, sejumlah pejabat Israel telah mencoba untuk merencanakan langkah selanjutnya begitu pertempuran berhenti.

Pilar utama dari rencana itu, menurut pernyataan publik sejumlah pejabat Israel, adalah membentuk pemerintahan sipil alternatif yang melibatkan aktor-aktor lokal Palestina. Para aktor lokal itu bukan bagian dari struktur kekuasaan saat ini dan mereka harus bersedia bekerja sama dengan Israel.

Baca juga: Benarkah Israel Akan Hentikan Perang di Gaza demi Pembebasan Sandera?

Namun, sejumlah kandidat di Gaza yang paling mungkin untuk peran ini – yaitu para kepala keluarga lokal yang berpengaruh – tidak mau terlibat. Setidaknya itu berdasarkan percakapan kantor berita Reuters dengan lima anggota keluarga besar di Gaza.

Tahani Mustafa, Analis Senior Palestina di International Crisis Group, lembaga pemikir yang berbasis di Brussels, Belgia, mengatakan bahwa Israel telah secara aktif mencari suku-suku dan keluarga lokal untuk bekerja bersama mereka. "Mereka menolak," ujar dia.

Menurut Mustafa, yang berhubungan dengan beberapa keluarga dan pemangku kepentingan lokal lainnya di Gaza, keluarga-keluarga itu tidak mau terlibat, sebagian karena takut akan pembalasan Hamas.

Walau Israel secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan perangnya adalah untuk menghancurkan Hamas, kelompok Palestina itu masih memiliki agen-agen yang bisa memaksakan kehendaknya di jalan-jalan Gaza.

Saat ditanya apa dampaknya bagi para kepala keluarga berpengaruh di Gaza jika mereka bekerja sama dengan Israel, Ismail Al-Thawabta, direktur kantor media pemerintah yang dikelola Hamas di Gaza, mengatakan, "Saya perkirakan hal itu akan berakibat fatal."

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengakui tantangan itu pekan lalu. Dia mengatakan, dalam sebuah wawancara dengan stasiun TV Channel 14 Israel bahwa kementerian pertahanan telah melakukan upaya untuk menjangkau klan-klan di Gaza tetapi “Hamas melenyapkan” mereka.

 

Netanyahu mengatakan, kementerian pertahanan mempunyai rencana baru, namun dia tidak akan memberikan rincian selain menyatakan bahwa dirinya tidak bersedia memasukkan Otoritas Palestina, yang saat ini memerintah Tepi Barat yang diduduki.

Reuters tidak bisa memastikan apakah upaya Israel untuk bekerja sama dengan keluarga-keluarga tersebut sedang berlangsung.

Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, membahas rencana pasca-perang pada pertemuan di Washington pekan lalu dengan sejumlah pejabat AS.

Saat memberikan penjelasan kepada wartawan dalam kunjungan itu, Gallant mengatakan, “Satu-satunya solusi untuk masa depan Gaza adalah pemerintahan oleh warga Palestina setempat. Bukan Israel dan bukan Hamas yang melakukannya.” Dia tidak menyebut klan-klan lokal secara spesifik.

Israel melancarkan serangannya di Gaza sebagai respons terhadap serangan lintas batas yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober tahun lalu yang menewaskan sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan sekitar 250 orang disandera. Angka-angka itu menurut penghitungan Israel.

Baca juga: Tank Maju ke Gaza, Jihad Islam Palestina Luncurkan 20 Roket ke Israel

Otoritas kesehatan Palestina mengatakan, serangan darat dan udara Israel di Gaza telah menewaskan hampir 38.000 orang, sebagian besar warga sipil. Israel mengatakan banyak dari mereka yang tewas adalah pejuang Palestina.

Klan Berpengaruh

Gaza memiliki puluhan keluarga berpengaruh yang berfungsi sebagai klan yang terorganisir dengan baik. Banyak di antara keluarga-keluarga itu tidak memiliki hubungan formal dengan Hamas. Mereka memperoleh kekuasaannya dari mengendalikan bisnis dan mendapatkan loyalitas dari ratusan atau ribuan kerabat. Setiap keluarga mempunyai pemimpin yang disebut mukhtar.

Penguasa kolonial Inggris di Palestina sebelum negara Israel dibentuk tahun 1948 sangat bergantung pada mukhtar untuk memerintah. Setelah Hamas mengambil alih Gaza tahun 2007, kelompok itu membatasi kekuasaan keluarga-keluarga tersebut. Namun mereka tetap mempertahankan otonomi pada tingkat tertentu.

Israel telah berbicara dengan beberapa pedagang Gaza, untuk mengoordinasikan pengiriman barang-barang komersial melalui sebuah pos pemeriksaan di Gaza selatan. Namun warga enggan mengungkapkan interaksi apapun dengan Israel.

Pendekatan yang diambil Israel, sebagaimana dijelaskan oleh anggota-anggota klan di Gaza, memiliki cakupan yang sederhana: mereka berfokus pada isu-isu praktis di dalam Gaza dan terpusat pada bagian utara wilayah itu, di mana Israel mengklaim akan memusatkan upaya pemerintahan sipilnya.

 

Salah satu pemimpin klan Gaza, yang meminta tidak disebutkan namanya, mengatakan kepada Reuters bahwa para pejabat Israel telah menghubungi mukhtar lain – bukan dirinya – dalam beberapa minggu terakhir. Dia mengatakan, dia mengetahuinya karena penerima telepon memberitahunya tentang panggilan telepon tersebut.

Dia mengatakan, para pejabat Israel menginginkan “beberapa orang yang dihormati dan berpengaruh” untuk membantu pengiriman bantuan di Gaza utara. “Saya memperkirakan para mukhtar tidak akan bekerja sama dalam permainan ini,” katanya. Pasalnya, warga Gaza marah terhadap Israel atas serangannya yang telah menewaskan anggota klan dan menghancurkan properti.

Orang itu, yang klannya merupakan pemain utama di bidang pertanian dan bisnis impor Gaza, tidak memiliki hubungan formal dengan Hamas.

Dalam sebuah kontak lain antara Israel dan warga Gaza yang berpengaruh, para pejabat dari kementerian pertahanan Israel dalam dua minggu terakhir telah menghubungi dua pemilik bisnis besar di sektor makanan di Gaza. Hal itu diungkapkan seorang warga Palestina yang mengetahui kontak tersebut.

Masih menurut orang itu, tidak jelas apa yang ingin dibicarakan oleh pihak Israel, dan para pemilik bisnis, yang berasal dari Gaza utara, menolak untuk terlibat dengan Israel.

Seorang anggota senior dari klan yang berbeda mengatakan, para pejabat Israel belum menghubungi klannya, namun mereka akan ditolak jika menghubunginya.

“Kami bukan kolaborator. Israel harus menghentikan permainan ini,” kata anggota klan itu, yang juga mengaku tidak memiliki hubungan resmi dengan Hamas.

Opsi Alternatif

Penasihat Keamanan Nasional Israel, Tzachi Hanegbi, mengatakan pada pekan lalu bahwa pemerintah telah memberi wewenang kepada angkatan bersenjata Israel untuk menemukan "pemimpin lokal, yang bersedia hidup berdampingan dengan Israel dan tidak mengabdikan hidupnya untuk membunuh warga Israel".

Dia mengatakan, prosesnya dimulai di bagian utara Gaza dan hasil praktisnya akan segera terlihat.

Selain administrasi sipil, pilar lain dari rencana Israel untuk Gaza pasca-perang adalah memasukkan pasukan keamanan dari luar untuk menjaga ketertiban, mencari bantuan internasional dalam proses rekonstruksi, dan mencari penyelesaian damai jangka panjang.

Negara-negara Arab yang dukungannya dibutuhkan Israel menyatakan, mereka tidak akan terlibat kecuali Israel menyetujui jadwal pasti pembentukan negara Palestina. 

 

Sepanjang perang, Washington telah menganjurkan reformasi untuk memperkuat Otoritas Palestina (Palestinian Authority/PA) dan mempersiapkannya untuk memerintah Gaza, yang dulu mereka kelola.

Netanyahu mengatakan, dia tidak memercayai PA. Dia justru berusaha untuk memisahkan Gaza dan Tepi Barat. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina (PCPSR) pada 12 Juni lalu, dukungan terhadap Otoritas Palestina terbilang lemah di kalangan warga Gaza.

Namun, dua pejabat AS mengatakan kepada Reuters bahwa Netanyahu mungkin tidak punya pilihan selain menyerahkan keamanan wilayah itu kepada Otoritas Palestina.

"Ini akan menjadi pertarungan. Namun tidak ada pilihan lain dalam jangka pendek hingga menengah," kata salah satu pejabat itu.

Masih menurut pejabat AS itu, Israel belum mengembangkan rencana konkret pasca-perang mengenai pemerintahan dan keamanan di daerah kantong itu.

Keduanya mengatakan, para pejabat Israel sedang mempertimbangkan sejumlah gagasan tetapi tidak memberikan rinciannya.

Hamas Bertahan

Sebagian warga Gaza menyalahkan Hamas karena memicu perang, sementara sebagian lainnya, yang marah dan teradikalisasi oleh serangan Israel, semakin dekat dengan kelompok itu. Mereka berkomitmen untuk menghancurkan Israel. Demikian menurut jajak pendapat PCPSR.

Hamas mengakui, kecil kemungkinannya mereka akan memerintah lagi di wilayah itu setelah perang, namun mereka memperkirakan akan tetap mempertahankan pengaruhnya.

Seorang warga Gaza mengatakan, dia melihat anggota kepolisian Hamas berkeliling di jalan-jalan Kota Gaza pada Juni lalu. Mereka memperingatkan para pedagang agar tidak menaikkan harga. Polisi-polisi mengenakan pakaian biasa, bukan seragam yang biasanya mereka kenakan. Para polisi Hamas itu menggunakan sepeda.

Para pejuang Hamas telah melakukan intervensi untuk mengendalikan distribusi bantuan kemanusian, termasuk membunuh sejumlah tokoh klan pada awal tahun ini yang mencoba mengambil alih pengiriman di Kota Gaza. Empat warga kota Gaza mengemukakan hal itu kepada Reuters. Hamas menolak berkomentar mengenai pembunuhan tersebut.

Bulan April lalu, Hamas mengatakan bahwa dinas keamanannya menangkap beberapa anggota aparat keamanan yang setia kepada Otoritas Palestina. Tiga orang yang dekat dengan Otoritas Palestina mengatakan, orang-orang yang ditangkap itu sedang mengawal pengiriman bantuan ke Jalur Gaza utara.

“Tidak ada kekosongan kekuasaan di Gaza, Hamas masih menjadi kekuatan yang menonjol,” kata Michael Milshtein, mantan kolonel intelijen militer Israel yang kini mengepalai Forum Studi Palestina di Moshe Dayan Center, sebuah pusat penelitian di Israel.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com