Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Para Aktivis Pro-Demokrasi Tragedi Khartoum Selama Perang Sudan

Kompas.com - 04/06/2024, 15:50 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

Sumber Al Jazeera

PARA aktivis Sudan mengenang lima tahun tragedi Pembantaian Khartoum yang terjadi pada 3 Juni 2019 di tengah-tengah gempuran perang saudara yang masih terus berlangsung.

Rangkaian pembunuhan yang terjadi kala tragedi Khartoum itu merupakan aksi yang digencarkan oleh pasukan militer dalam upaya membubarkan aksi duduk yang menuntut pemerintahan sipil dan demokrasi. Tragedi itu juga kemudian menandai salah satu momen paling penting bagi Sudan, yaitu penggulingan presiden Sudan saat itu, Omar al-Bashir, pada bulan April 2019.

Selama berbulan-bulan sebelum al-Bashir digulingkan melalui kudeta militer, gerakan protes besar secara terus berlangsung, menuntut agar al-Bashir mengundurkan diri. Gerakan protes itu terus berlanjut setelah pemberlakuan pemerintahan militer yang kemudian mengarah pada apa yang disebut sebagai “Pembantaian Khartoum”.

Baca juga: Dilanda Perang Saudara, Warga Sudan Kini Terancam Bencana Kelaparan

Kekuatan yang dulu mengambil alih kekuasaan dari al-Bashir, militer Sudan dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat, kini saling berperang dalam perang saudara yang dimulai sejak tanggal 15 April 2023 sampai dengan saat ini. Sampai detik ini, banyak aktivis percaya bahwa pembantaian pada 3 Juni itu merupakan sebuah pertanda akan datangnya perang yang mematikan.

Apa yang Terjadi pada 3 Juni 2019?

Pembantaian terjadi dua hari sebelum bulan suci Ramadhan berakhir. Di hari itu, ribuan pengunjuk rasa masih melakukan aksi duduk yang sudah berlangsung sejak awal April di depan markas militer di Khartoum. Mereka tetap melancarkan aksinya meski hari itu sudah tersebar rumor bahwa pasukan keamanan berencana untuk membubarkan mereka.

Sulima Shafiq, aktivis pro-demokrasi yang berkampanye melawan kekerasan terhadap perempuan dan ikut dalam aksi protes itu bercerita bahwa para peserta aksi duduk sebenarnya tahu bahwa hal buruk bisa terjadi. Meski begitu, tak ada yang mengantisipasi bahwa hal buruk tersebut mencakup pembunuhan, pemerkosaan, dan penahanan sejumlah besar orang.

Hari itu, setidaknya sebanyak 120 orang tewas dan ratusan lainnya hilang.

“Pada suatu saat, saya berpikir kami tidak akan berhasil dan akan segera tewas,” kata Shafiq kepada Al Jazeera. “Saya pikir itu hanya perkara waktu sebelum kami akan tewas seperti yang lainnya.”

Pembantaian itu mendapat kecaman global. Pasukan keamanan pada mulanya membantah terlibat dalam penyerangan aksi duduk tersebut. Mereka bahkan berupaya membatasi informasi apapun agar tidak tersebar dengan memberlakukan pemblokiran internet mulai 10 Juni serta membatasi masuknya jurnalis asing.

Pihak berwenang militer akhirnya mengakui bahwa mereka telah memerintahkan pembubaran di hari itu. Namun, mereka juga mengatakan bahwa telah terjadi kesalahan.

Bukannya takut pasca pembantaian tersebut, para pengunjuk rasa kembali melakukan protes pada tanggal 30 Juni. Protes tersebut berhasil mendorong komunitas internasional untuk menekan pasukan keamanan agar berbagi kekuasaannya dengan politisi sipil pada Agustus 2019. Meski begitu, kesepakatan tersebut pada akhirnya tak berlangsung lama dan separuh sipil dari pemerintahan transisi digulingkan oleh rekan militernya pada  Oktober 2021.

Bagaimana Gerakan Pro-Demokrasi Sudan Beradaptasi Sejak Perang Dimulai?

Banyak peserta aksi duduk merupakan anggota komite perlawanan, yang merupakan kelompok yang berperan penting dalam upaya menggulingkan al-Bashir serta mengorganisir protes pro-demokrasi berkelanjutan.

Ketika perang Sudan dimulai, banyak anggota komite perlawanan mendirikan Ruang Tanggap Darurat (ERR). Mereka meminta sumbangan dari orang-orang Sudan di diaspora dan memiliki tugas utama yaitu meringankan krisis kemanusiaan yang dahsyat akibat perang saudara.

Sejauh ini, para aktivis di ERR telah bekerja sama untuk membuka klinik pertolongan pertama, mengangkut warga sipil keluar dari daerah yang tidak aman, dan mengoperasikan dapur umum yang tak terhitung jumlahnya guna memberi makan orang-orang yang kelaparan.

Di Khartoum di mana pertempuran hebat juga terjadi, ERR berperan penting dengan membantu mengelola rumah sakit terdekat, kata Abd al-Qadous pada Al Jazeera. Di sana, ERR membuka sekolah kecil untuk melindungi para warga sipil yang sedang mengungsi dari pertempuran hebat di daerah sekitar.

Baca juga: PBB: Perang Sudan Ancam Hancurkan Seluruh Negeri

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com