Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Rencana "The Day After" Bisa Bantu Mengakhiri Perang di Gaza

Kompas.com - 29/05/2024, 12:41 WIB
Egidius Patnistik

Penulis

Sumber BBC

THE Day After mungkin terdengar seperti judul film atau novel. Namun bagi para diplomat dan pembuat kebijakan, frase itu hanya memiliki satu arti dan itulah yang terjadi 'sehari setelah' (the day after) pertempuran berhenti di Gaza.

Mengingat intensitas konflik dan tidak adanya harapan, pemikiran seperti itu mungkin tampak mengejutkan, bahkan hanya angan-angan belaka. Namun ada peningkatan fokus pada apa yang bisa dan seharusnya terjadi jika dan ketika senjata tidak lagi digunakan di Gaza, tulis wartawan BBC, James Landale, dalam laporanya pekan lalu.

Para menteri luar negeri Uni Eropa membahas hal itu di Brussels, Belgia, hari Senin (27/5/2023) saat mereka mengadakan pembicaraan dengan rekan-rekannya dari Yordania, Mesir, Qatar, Arab Saudi, dan UEA, serta sekretaris jenderal Liga Arab. Di Timur Tengah dan negara-negara Barat, pembicaraan sedang berlangsung dan rencana sedang disusun. Banyak yang sadar bahwa peluang masih terbuka lebar.

Apa yang Harus Dilakukan?

Meskipun demikian, tulis Landale, tampaknya hanya ada sedikit kesepakatan tentang apa yang seharusnya terjadi dan kapan.

Menurut Landale, bagi tiga negara Eropa yang secara resmi akan mengakui negara Palestina, yaitu Norwegia, Spanyol, dan Irlandia, fokusnya adalah menghidupkan kembali diskusi mengenai solusi dua negara, yang selama bertahun-tahun hanya menjadi slogan yang sering diucapkan oleh para politisi tanpa tindakan nyata.

Mereka berharap pembicaraan politik tetang “day after" akan membuka jalan menuju gencatan senjata dan pembebasan sandera. “Satu-satunya jalan menuju perdamaian adalah politik,” kata Perdana Menteri Irlandia, Simon Harris.

Bagi para menteri Inggris, fokusnya adalah mendukung Otoritas Palestina (Palestinian Authority/PA) sebaik mungkin sehingga dapat membantu mengelola Gaza pasca-perang. Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Cameron, mengatakan kepada House of Lords pekan lalu bahwa ia mendorong Israel untuk tidak lagi menahan dana Otoritas Palestina.

Israel tidak hanya menolak memberikan pendapatan pajak kepada Otoritas Palestina, Menteri Keuangan sayap kanan Israel, Belazel Smotrich, juga mengancam akan memutus hubungan bank-bank Palestina dengan bank-bank Israel.

Lord Cameron mengatakan bahwa ia telah mengatakan kepada pemerintah Israel: "Anda mungkin tidak menganggap Otoritas Palestina ideal. Anda mungkin berpikir bahwa Otoritas Palestina gagal dalam banyak hal. Namun Anda perlu menemukan mitra selain Hamas yang dapat Anda ajak bekerja sama di Gaza dan Tepi Barat, dan mitranya adalah pemerintahan teknokratis baru yang dijalankan oleh Otoritas Palestina.”

 

Para pejabat Departemen Keuangan Inggris diketahui sedang mempersiapkan bentuk-bentuk baru dukungan finansial dan teknis untuk Otoritas Palestina.

Namun ada juga beberapa pihak di pemearinthan Inggris yang mendorong Inggris untuk lebih eksplisit mengenai pemikirannya tentang bagaimana negara Palestina akan dibentuk. “Anda tidak dapat mendukung solusi dua negara tanpa membicarakan pengakuan,” kata seorang sumber senior kepada BBC.

"Yang kurang dari kita adalah linimasanya. Kita sepakat dengan titik awalnya: hentikan perang. Dan kita sepakat mengenai pembentukan negara Palestina. Namun tidak ada definisi yang pasti mengenai jalan menuju hal itu. Kita harus mengambil langkah tersebut, jika tidak kita akan menangani ini selama 70 tahun ke depan."

Kondisi di Pemerintah Israel

Lalu ada suara-suara dari dalam Israel. Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, telah mengeluarkan kecaman keras atas penolakan Benjamin Netanyahu untuk menetapkan rencana pascaperang. “'Hari setelah Hamas' hanya akan tercapai jika entitas Palestina mengambil kendali atas Gaza, didampingi oleh aktor-aktor internasional, membangun pemerintahan alternatif terhadap pemerintahan Hamas,” kata Gallant.

Rekannya sesama anggota kabinet perang Israel, yaitu Benny Gantz, malah melangkah lebih jauh dengan mengancam akan mengundurkan diri dari pemerintahan kecuali Netanyahu menyetujui rencana enam poin pada tanggal 8 Juni. Hal itu termasuk demiliterisasi Gaza dan pembentukan pemerintahan gabungan AS, Eropa, Arab, dan Palestina.

Landale menyebutkan, fokus dari kedua mantan jenderal itu lebih bersifat militer ketimbang politik. Mereka khawatir - dan ingin menghindari - Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menangani Gaza dalam jangka panjang, yang menurut Gallant akan menjadi "jalur berbahaya" yang akan mengakibatkan Israel membayar mahal dalam bentuk "pertumpahan darah dan korban jiwa".

Amerika Serikat mempunyai pandangan yang sama. “Penting bukan saja konflik di Gaza diakhiri secepat mungkin, tetapi Israel juga harus memberikan rencana yang jelas tentang bagaimana Gaza akan diatur, diamankan, dan dibangun kembali,” kata Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, pada sidang komite Senat minggu lalu.

Tanpa hal tersebut, kata dia, Israel akan menghadapi pilihan yang tidak dapat diterima: pendudukan militer jangka panjang dan pemberontakan, kembalinya Hamas, atau anarki dan pelanggaran hukum. “Kami percaya bahwa orang Palestina harus diperintah oleh mereka sendiri,” katanya.

Posisi Negara-Negara Arab

AS juga memberikan tekanan pada negara-negara Arab untuk menyetujui pembentukan pasukan internasional yang dapat menciptakan keamanan di Gaza dalam jangka pendek. AS tidak akan menempatkan pasukannya sendiri di lapangan tetapi menginginkan negara-negara termasuk Mesir, Yordania, Maroko, Bahrain, dan UEA untuk melakukan hal itu.

Namun para diplomat mengatakan, negara-negara itu telah menegaskan bahwa mereka akan mengambil bagian hanya jika Barat mengakui negara Palestina, dan mereka datang atas undangan pemimpin Palestina.

"The day after" tidak bisa dipisahkan dari proses politik, hal itu harus menjadi bagian dari paket yang komprehensif,” kata seorang diplomat Arab. “Tidak seorang pun akan mengambil tindakan kecuali ada proses politik.”

Beberapa negara Arab merasa bahwa AS terlalu fokus dalam upaya mencapai kesepakatan untuk menormalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan Arab Saudi. Mereka mengakui bahwa hal itu mungkin menjadi kunci untuk mendapatkan persetujuan Israel terhadap penyelesaian politik yang lebih luas, tetapi mereka curiga hal itu dianggap berlebihan sebagai "solusi ajaib" (silver bullet) oleh beberapa pejabat AS.

Mereka juga berpendapat, AS perlu berpikir lebih keras mengenai “the day after” bagi Israel, dan berinteraksi lebih dekat dengan suara-suara moderat yang dapat memenangkan dukungan rakyat untuk Gaza yang dikuasai Palestina.

Ada juga diskusi mengenai peran apa yang bisa dimainkan Turki, dengan menggunakan pengaruhnya atas Hamas untuk menyetujui semacam kesepakatan pascaperang.

Pada akhirnya, tulis Landale, hambatan utama terhadap perjanjian apapun adalah Benjamin Netanyahu. Dia menolak untuk membahas hal itu selain dengan tegas menentang peran apapun yang dilakukan Otoritas Palestina. Dia takut akan mengecewakan anggota pemerintahannya yang berhaluan kanan yang mendukung pendudukan Israel dalam jangka panjang. Namun tekanan terhadap Netanyahu semakin meningkat, dan suatu hari dia mungkin harus memilih.

“Risikonya adalah tidak ada ""day after" kata seorang diplomat Barat. “Israel bisa menguasai Rafah, Hamas akan tetap berada di sana, mungkin ada Rafah yang lain. Operasi militer bisa berlangsung berbulan-bulan.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com