Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Rencana Ambisius China Tangani Krisis Properti

Kompas.com - 27/05/2024, 09:06 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

Sumber CNN,AP News

PASAR properti di China terus mengalami kemerosotan setelah dikeluarkannya kebijakan tegas yang membatasi pinjaman berlebihan yang dilakukan pengembang properti beberapa tahun sebelumnya. Akibatnya, banyak pengembang properti akhirnya gagal membayar utangnya. Proyek mereka pun terpaksa berhenti walau belum tuntas.

Kebijakan itu juga berpengaruh ke banyak bisnis lain selain pengembang properti, mulai dari bisnis perabot rumah tangga hingga konstruksi.

Krisis properti itu merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan karena sektor tersebut berperanan penting dalam perekonomian China (berkontribusi sekitar 30 persen pada perekonomian negara). Walau perekonomian China masih mampu berkembang, tetap saja perkembangannya tidak maksimal karena terbebani krisis properti yang berkepanjangan.

Untuk menangani hal tersebut, Beijing meluncurkan sebuah rencana ambisius yang sangat dinanti-nantikan para pengembang properti. Rencana ini akan berfokus pada penerapan kebijakan yang sebelumnya telah diuji di kota-kota besar, yaitu mendorong pemerintah daerah membeli rumah yang tidak terjual dari pengembang dan mengubahnya menjadi perumahan umum dengan harga terjangkau. Untuk menyukseskan rencana ini, bank sentral berupaya untuk menyiapkan dana sebesar 300 miliar yuan (Rp 664 triliun).

Baca juga: Krisis Properti China, Evergrande Semakin Terdesak

Selain pembelian rumah kosong, rencana itu juga mencakup pengurangan suku bunga hipotek dan rasio uang muka.

Rencana tersebut dapat dikatakan sangat ambisius mengingat jumlah dana yang tidak kecil yang mereka harus keluarkan. Walau begitu, pemerintah China sangat berkomitmen dengan rencananya tersebut. Saat ini, menstabilkan sektor properti adalah prioritas utama China. Krisis itu harus segera mereka selesaikan guna menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi negeri itu.

“Para pembuat kebijakan menyadari pentingnya mencegah krisis properti secara langsung,” kata Zhaopeng Xing, ahli strategi senior China di ANZ Research. “Rencana penyelamatan baru ini menunjukkan resolusi para pembuat kebijakan untuk membalikkan keadaan.”

Ambisius Namun Belum Cukup

Terlepas dari seberapa ambisius rencana pemerintah China saat ini, para ahli berpendapat bahwa upaya tersebut masih jauh dari cukup. Para ahli beranggapan, skala dari rencana itu masih terlalu kecil untuk bekerja secara efektif.

Ada pula kemungkinan besar akan terjadi kesulitan dalam pendanaan di tengah-tengah berjalannya program tersebut.

Menurut data Goldman Sachs, nilai total rumah yang belum terjual, proyek yang belum selesai, dan tanah yang belum terpakai di China mencapai 30 triliun yuan (Rp 66.400 triliun)

Analisis Goldman mengungkapkan, China akan memerlukan setidaknya lebih dari 7 triliun yuan (Rp 15.493 triiun) di semua kota jika ingin mengembalikan kondisi sektor properti seperti tahun 2018 ketika terjadinya puncak ledakan pasar properti. Angka ini lebih besar 20 kali lipat daripada angka yang diumumkan bank sentral.

 

Sedangkan untuk menyelesaikan pembangunan rumah yang telah terjual sebelumnya setidaknya akan memerlukan 3,2 triliun yuan, menurut Ting Lu, kepala ekonom China di Nomura. Saat ini, diperkirakan terdapat 20 juta rumah yang sudah terjual tetapi belum dibangun.

Masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Adapun rencana pemerintah juga belum melampirkan secara jelas bagaimana program itu akan diimplementasikan dan yang lebih penting lagi bagaimana pemerintah daerah akan mendapatkan dana tambahan untuk menjalankan rencana tersebut. Jumlah yang disalurkan bank sentral sendiri relatif kecil.

Kementerian Perumahan Rakyat China mengatakan, hal itu dapat ditanggulangi dengan mendorong badan usaha milik negara setempat untuk ikut membantu membeli rumah yang tidak terjual dari para pengembang.

Baca juga: Krisis Properti China, Jumlah Rumah Kosong Bisa untuk 3 Miliar Orang

Namun, lembaga pembiayaan pemerintah daerah yang sudah memiliki utang “tersembunyi” dalam jumlah besar tidak diperbolehkan melakukan pembelian seperti itu, kata Tao Ling dari Bank Sentral China. Hal seperti itu dapat memperkecil variasi opsi bagi pemerintah daerah untuk memperoleh uang tunai tambahan.

Permasalahan kian rumit dengan tingginya utang di banyak kota di China yang rata-rata telah mencapai 15 triliun yuan. Ada pula sebagian besar utang ini juga tersembunyi. Lagi-lagi krisis di pemerintahan daerah kembali diperumit karena kemerosotan pasar properti yang telah mencekik keuangan mereka. Penjualan tanah biasanya dapat menyumbang lebih dari 40 persen dari total pendapatan pemerintah daerah.

Akibat dari utang yang menumpuk, pemerintah daerah pun terpaksa memangkas pengeluarannya, termasuk menangguhkan layanan dasar seperti pemanas rumah di musim dingin.

Rencana Ambisius Itu Baru Permulaan

Para ahli berpendapat bahwa rencana untuk menanggulangi adanya rumah-rumah yang tidak terjual hanyalah langkah permulaan. Menurut analisis Goldman, pemerintah China harus menyelesaikan tiga masalah.

Pertama memberikan dana talangan kepada para pengembang lalu membantu mereka menyelesaikan rumah yang sudah terjual namun belum selesai dibangun. Isu inilah yang saat ini sedang dalam pengerjaan oleh pemerintah.

 

Langkah kedua dan ketiga akan melibatkan peningkatan permintaan perumahan dan mitigasi kontraksi dalam konstruksi properti. Hal ini akan memerlukan langkah-langkah yang lebih rinci guna membangkitkan kembali kepercayaan konsumen dan meningkatkan harga rumah.

Secara keseluruhan, masih banyak hal yang harus dilakukan oleh pemerintah China guna menanggulangi krisis properti. Pemerintah China masih harus mempertimbangkan untuk terus memperluas upaya penyelamatan properti. Namun untuk saat ini, yang terpenting adalah pemerintah telah mengambil inisiatif untuk menstabilkan suasana.

Jika dilihat secara jangka panjang, upaya pemerintah saat ini dapat mengurangi resiko terjerumusnya China ke dalam “spiral deflasi” seperti yang terjadi di Jepang. Dari fenomena tersebut, para pembuat kebijakan harus membiasakan diri untuk menghindari tindakan yang terlalu sedikit dan terlambat.

Akhir-akhir ini, tekanan eksternal terhadap China juga kian besar. Pemerintah Amerika Serikat (AS) baru saja mengumumkan tarif baru terhadap China. Ada kemungkinan langkah itu juga akan diikuti Uni Eropa. Mantan Presiden AS, Donald Trump, mengancam akan meningkatkan kembali tarif terhadap barang impor dari China sampai dengan 60 persen jika ia terpilih dalam pemilu tahun ini.

Xing memprediksi, jika tarif yang diusulkan Trump benar terjadi, hal itu dapat memangkas tingkat pertumbuhan China sampai 0,9 persen.

Hal tersebut sudah seharusnya mendorong pemerintah China semakin menyegerakan dan menegaskan upaya penyelamatan sektor propertinya tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com