Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sampah Elektronik Semakin Jadi Masalah Besar Dunia, Mengapa?

Kompas.com - 22/03/2024, 06:10 WIB
Egidius Patnistik

Penulis

Sumber CNN

Jadi Sumber Masalah Iklim

Selain menjadi masalah lingkungan, sampah elektronik juga merupakan masalah iklim. Perangkat elektronik memerlukan bahan mentah, termasuk jenis logam-logam tanah jarang (rare earth), yang diekstraksi dan diproses dalam proses yang sangat boros energi, terutama menggunakan bahan bakar fosil. Ketika permintaan meningkat, dan masyarakat dibujuk untuk lebih sering mengganti perangkat, dampak iklim dari kegiatan itu semakin besar.

Menurut laporan tersebut, pengelolaan dan pembuangan sampah elektronik yang tepat dapat mengurangi polusi karbon global, dengan memanfaatkan kembali logam dan mengurangi kebutuhan untuk mengekstraksi bahan mentah baru.

“Semakin banyak logam yang kita daur ulang, semakin sedikit logam yang harus ditambang,” kata Kees Baldé, penulis utama laporan tersebut dan ahli senior di Institut Pelatihan dan Penelitian PBB, kepada CNN.

Proses mendaur ulang logam dari sampah elektronik, alih-alih mengekstraksi bahan mentah baru, telah mencegah sekitar 52 juta metrik ton emisi yang menyebabkan pemanasan global pada tahun 2022, kata laporan tersebut.

Pengelolaan limbah elektronik yang lebih baik seperti untuk lemari es dan AC, yang mengeluarkan zat pendingin seperti klorofluorokarbon yang merupakan gas rumah kaca yang kuat, dapat mengurangi dampak sampah itu terhadap iklim.

Selain itu, daur ulang dapat memperoleh kembali nilai yang terkandung dalam produk tersebut. Logam senilai sekitar 91 miliar dolar AS (Rp 1.429 triliun) terkandung dalam sampah elektronik yang dibuang tahun 2022, termasuk emas senilai 15 miliar dolar (Rp 235 triliun).

Meskipun kekhawatiran global terhadap sampah elektronik meningkat, hanya 81 negara yang memiliki kebijakan sampah elektronik pada tahun 2023, termasuk negara-negara Uni Eropa dan India. AS, yang merupakan salah satu produsen sampah elektronik terbesar, tidak memiliki undang-undang federal yang mewajibkan daur ulang barang elektronik meskipun beberapa negara bagian, termasuk Washington DC, telah menerapkan peraturan limbah elektronik sendiri.

Meski sudah ada undang-undang sampah elektronik, penegakan hukum “masih menjadi tantangan global,” kata penulis laporan tersebut dalam sebuah pernyataan.

Salah satu cara terbaik untuk mulai mengatasi krisis sampah elektronik adalah negara-negara kaya berhenti membuang limbah elektronik ke negara-negara yang tidak memiliki kapasitas untuk mengatasinya. Sudah menjadi praktik yang lumrah, negara-negara maju membuang sampah ke negara berkembang, termasuk ke Indonesia.

Baca juga: Sampah Impor Masuk ke Indonesia, dari Popok, Bekas Alat Infus, hingga Obat

Di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, limbah elektronik – sebagian besar diimpor dari negara-negara kaya – sering kali ditangani sistem daur ulang informal atau tidak resmi dan tidak diatur, sehingga menimbulkan dampak kesehatan dan polusi yang parah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com