Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Permusuhan Korea Utara dengan Korea Selatan

Kompas.com - 16/03/2024, 10:40 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

DALAM pertemuan Majelis Rakyat Tertinggi (SPA) di Pyongyang, Korea Utara, pada 15 Januari 2024, Presiden Korea Utara (Korut), Kim Jong Un, menyatakan bahwa dia akan mengakhiri upaya rekonsiliasi dengan Korea Selatan (Korsel). Kim mengatakan, reunifikasi Korea Utara dengan Korea Selatan tidak akan mungkin lagi terjadi.

Dalam pidatonya, Kim berjanji akan menghancurkan monumen reunifikasi yang dulu ayahnya bangun di Pyongyang. Kim menyebut monumen tersebut “merusak pemandangan”.

Kim pada pidatonya itu juga mengatakan, Pyongyang sedang dalam upaya menghapuskan semua lembaga yang mempromosikan kerja sama dengan Seoul. Pada saat yang sama, ia menyebut Korea Selatan sebagai “musuh utama”.

Baca juga: Pasang Surut Hubungan Rusia dan Korea Utara

Kini, hubungan Korea Utara dengan Korea Selatan berada di ujung tanduk. Upaya reunifikasi beberapa dekade terakhir mengalami kebuntuan. Padahal, dahulu Korea Utara dan Korea Selatan merupakan satu kesatuan wilayah.

Apa yang menyebabkan Korea terpecah menjadi dua negara yang sangat berbeda satu sama lain?

Semenanjung Korea Sebelum Terpecah

Sebelum terbagi menjadi Korea Utara dan Korea Selatan, Korea merupakan satu kesatuan wilayah utuh. Pada periode tersebut, Korea memiliki sistem pemerintahan kerajaan.

Tahun 1905, Jepang menduduki Korea dan secara resmi menganeksasi wilayah itu lima tahun setelahnya. Korea berada di bawah penjajahan Jepang selama 35 tahun sampai dengan Perang Dunia II berakhir tahun 1945.

Kekalahan Jepang membuat Korea akhirnya jatuh ke tangan sekutu. Untuk itu, sekutu sepakat membagi Korea menjadi dua bagian. Uni Soviet memasuki kawasan Korea dan menduduki wilayah utara. Sekutu Uni Soviet dalam Perang Dunia II, Amerika Serikat (AS), menyusul dan menduduki Korea bagian selatan.

Selama tiga tahun berikutnya, tentara Soviet dan proksinya mendirikan rezim komunis di wilayah utara. Sedangkan di bagian selatan, dibentuklah pemerintahan militer yang didukung langsung AS.

Baca juga: Korea Utara Mengecam Keras Latihan Militer Korea Selatan-AS

Meskipun kebijakan Soviet sangat populer di kalangan sebagian besar pekerja dan petani di Korea Utara, sebagian besar masyarakat kelas menengah di utara melarikan diri ke selatan, tempat mayoritas penduduk Korea tinggal saat ini. Sementara itu, rezim di selatan yang didukung oleh AS jelas-jelas lebih menyukai elemen sayap kanan yang anti-komunis.

Tahun 1948, AS mengusulkan penyelenggaraan pemungutan suara yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar seluruh penduduk Korea dapat menentukan nasib masa depan semenanjung tersebut. Setelah Korea Utara menolak berpartisipasi, Korea Selatan akhirnya membentuk pemerintahannya sendiri di Seoul yang dipimpin Syngman Rhee yang sangat anti-komunis.

Sebagai respon, Korea Utara mengangkat mantan gerilyawan komunis Kim Il Sung sebagai perdana menteri pertama Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) di ibu kota Pyongyang.

 Korea Terpecah

Ketegangan antara kedua rezim tersebut terus memanas hingga puncaknya tahun 1950 ketika keduanya memutuskan untuk berperang. Insiden ini dikenal sebagai Perang Korea.

Sepanjang perang berlangsung, Korea Utara secara aktif menerima pasokan dan bantuan dari Uni Soviet. Tidak lama setelahnya, China ikut memberikan bantuan kepada Korea Utara. Di sisi lain, Korea Selatan didukung PBB dan secara aktif menerima bantuan AS.

Perang Korea hanya berlangsung selama tiga tahun tetapi telah menewaskan setidaknya 2,5 juta orang. Meski demikian, perang ini sama sekali tidak menjawab pertanyaan mengenai rezim mana yang paling tepat untuk Korea. Namun, perang ini secara resmi menjadikan AS sebagai musuh permanen Korea Utara karena keterlibatannya dalam pengeboman desa-desa hingga kota-kota di bagian utara.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com