USULAN solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik Palestina pertama kali muncul tahun 1937 dalam Laporan Komisi Peel. Secara sederhana, solusi dua negara adalah pembentukan negara Palestina di samping negara Israel yang telah ada.
Komisi Peel dibentuk Pemerintah Inggris tahun 1936 untuk menyelidiki penyebab kerusuhan antara warga Arab-Palestina dan orang-orang Yahudi di wilayah yang saat itu dikenal sebagai Palestina. Palestina ketika itu berada di bawah Inggris berdasarkan mandat dari Liga Bangsa-Bangsa.
Nama resmi komisi itu adalah Palestine Royal Commission. Komisi tersebut dipimppin Lord Robert Peel. Karena itulah namanya kemudian lebih dikenal sebagai Komisi Peel. Komisi itu menghasilkan laporan pada tahun 1937 yang terkenal dengan nama "Laporan Peel".
Baca juga: Uni Eropa Terus Tekan Israel Terkait Solusi Dua Negara
Kekacauan di Palestina meningkat setelah tahun 1920, ketika Konferensi San Remo memberikan mandat kepada Pemerintah Inggris untuk mengontrol Palestina. Dengan persetujuan resmi Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1922, mandat itu oleh Inggris diintegrasikan dengan Deklarasi Balfour tahun 1917.
Deklarasi Balfour adalah sebuah pernyataan yang dikeluarkan Pemerintah Inggris, yang menyatakan dukungan mereka untuk pembentukan "suatu tempat tinggal nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina. Di sisi lain, berdasarkan isi Deklarasi Balfour itu, Inggris hanya memberi dukungan pemeliharaan hak sipil dan agama (bukan hak politik atau nasional) bagi komunitas non-Yahudi Palestina.
Warga Arab-Palestina, yang menginginkan otonomi politik dan menentang imigrasi orang-orang Yahudi yang membanjiri Palestina, tidak setuju dengan mandat tersebut. Pada tahun 1936 ketidakpuasan berkembang menjadi pemberontakan terbuka.
Ketika itu orang-orang Yahudi berdatangan dari Eropa. Mereka lari dari Eropa karena ada kekerasan anti-Semit. Masuknya orang-orang Yahudi ke Palestina memicu ketakutan orang-orang Arab-Palestina akan dominasi Yahudi.
Itulah latar belakang Komisi Peel. Komisi itu dalam laporan menyatakan, koeksistensi orang Arab-Yahudi dalam satu negara tidak mungkin karena sikap bermusuhan yang akut. Tuntutan dua komunitas itu juga bertentangan. Keduanya ingin membangun negara di lokasi yang tumpang tindih.
Maka, Komisi Peel mengusulkan Palestina dibagi menjadi tiga zona: negara Arab-Palestina; negara Yahudi; dan wilayah netral di mana tempat-tempat suci berada, yaitu Yerusalem dan Betlehem.
Sementara wilayah yang diusulkan untuk negara Yahudi mencakup daerah-daerah subur seperti Lembah Jezreel dan pesisir utara. Wilayah ini kaya air dan tanahnya yang lebih produktif. Sebagian besar garis pantai dan beberapa tanah pertanian paling subur di Galilea juga diberikan kepada orang Yahudi.
Kota Yerusalem dan Betlehem tidak masuk dalam wilayah yang dibagi. Kedua kota itu, beserta koridor yang menghubungkannya, menjadi zona internasional di bawah administrasi internasional karena signifikansi mereka bagi banyak agama dan komunitas.
Proposal itu menimbulkan kontroversi. Pasalnya, penduduk Palestina di wilayah yang diusulkan untuk menjadi negara Arab-Palestina berisiko mengalami kesulitan ekonomi karena terbatasnya sumber daya dan kemampuan tanah untuk mendukung kehidupan. Kebanyakan dari mereka bergantung pada pertanian, dan tanah yang kurang subur ini akan sangat memengaruhi kehidupan dan mata pencahariannya ke depan.
Kalangan Arab-Palestina menilai bahwa usulan itu tidak adil. Mereka merasa, sebagai penduduk mayoritas di wilayah tersebut mereka berhak mendapatkan tanah yang lebih subur dan lebih menguntungkan secara ekonomi. Usulan itu dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang menegaskan dominasi kolonial Inggris dan favoritisme terhadap pendatang Yahudi.
Karena itu komunitas Arab-Palestina menolak usulan tersebut.
Sebaliknya, sebagian besar komunitas Yahudi menerima proposal itu.