Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ganti Nama Yudea Jadi Palestina, Cara Romawi Redam Bangsa Yahudi

Kompas.com - 18/01/2024, 08:09 WIB
Egidius Patnistik

Penulis

Sumber Britannica

Orang Yahudi, yang kehilangan Bait Suci, kemudian mendirikan pusat keagamaan baru di sekolah untuk para rabi di Jamnia (Jabneh).

Ketika pemberontakan oleh orang-orang Yahudi pecah lagi pada 115 M, Kaisar Romawi saat itu, Trajan, menunjuk Lucius Quietus, legate konsuler pertama Yudea, untuk menumpasnya. Pangkat legate itu mengonfirmasi bahwa dua legiun ditempatkan di Yudea, satu di Yerusalem, yang lainnya di Caparcotna di Galilea, dan sejak itu provinsi tersebut harus memiliki status konsuler.

Tahun 132, kaisar Hadrian memutuskan untuk membangun sebuah koloni Romawi, bernama Aelia Capitolina, di Yerusalem. Koloni Romawi adalah pemukiman yang didirikan Republik Romawi atau kemudian Kekaisaran Romawi di luar kota Roma. Koloni itu menjadi bagian penting dari strategi ekspansi dan administrasi Romawi. Tujuan utama pendirian koloni untuk menyebarluaskan pengaruh dan budaya Romawi, mengamankan wilayah baru, dan mengintegrasikan wilayah-wilayah tersebut ke dalam struktur politik dan sosial Romawi.

Pengumuman rencana pembangunan koloni itu, serta larangan Hadrian terhadap sunat (yang kemudian dicabut, tetapi hanya untuk orang Yahudi), memicu pemberontakan yang lebih serius, yang dikenal sebagai Pemberontakan Yahudi Kedua. Pemberontakan itu dipimpin Bar Kokhba.

Pemberontakan tersebut ditumpas secara kejam oleh Julius Severus, pemimpin militer Romawi. Menurut beberapa laporan, hampir 1.000 desa dihancurkan dan lebih dari setengah juta orang terbunuh.

Orang Yahudi lalu diusir dari Yudea. Namun mereka bertahan di Galilea. Galilea, sama seperti Samaria, tampaknya tidak ikut-ikutan dalam pemberontakan tersebut. Tiberias di Galilea menjadi tempat kedudukan pemimpin Yahudi.

Ketika itulah Provinsi Yudea berganti nama menjadi Syria Palaestina (kemudian hanya disebut Palaestina), dan, menurut Eusebius dari Caesarea (Ecclesiastical History, Book IV, chapter 6), sejak itu tidak ada seorang Yahudi pun diperbolehkan menginjakkan kaki di Yerusalem atau distrik sekitarnya.

Larangan itu belakangan dilonggarkan. Romawi membolehkan orang Yahudi masuk ke Yerusalem sehari dalam setahun, yaitu pada hari berkabung yang disebut Tisha be-Ava. Larangan bagi orang Yahudi masuk ke Yerusalem masih berlaku secara resmi hingga abad ke-4 M.  Namun ada beberapa bukti bahwa sejak periode Severan (setelah 193), orang Yahudi sudah bisa lebih sering mengunjungi kota tersebut, terutama pada waktu festival tertentu, dan bahkan mungkin ada beberapa orang Yahudi yang tinggal di sana.

Pada waktu sekitar pemberontakan Bar Kokhba ditumpas (135), Hadrian terus mengubah Yerusalem menjadi kota Greco-Romawi. Ia membangun arena sirkus, amfiteater, pemandian, dan teater serta jalan-jalan yang mengikuti pola jaringan Romawi. Ia juga mendirikan kuil-kuil yang didedikasikan untuk Jupiter dan dirinya sendiri di lokasi Bait Suci Yerusalem dihancurkan.

Untuk mempopulerkan kembali kota tersebut, Hadrian membawa orang-orang Greco-Syria dari daerah sekitarnya dan bahkan mungkin beberapa veteran legiun. Urbanisasi dan helenisasi Palestina itu dilanjutkan selama masa pemerintahan kaisar Septimius Severus (193–211 M), kecuali di Galilea, di mana keberadaan Yahudi tetap kuat.

Kota-kota baru untuk orang kafir (pagan) didirikan yaitu di Eleutheropolis dan Diospolis (sebelumnya Lydda) dan di Nikopolis (sebelumnya Emmaus) di bawah salah satu penerus Severus, Elagabalus (218–222). Selain itu, Severus mengeluarkan larangan spesifik terhadap penyebaran agama Yahudi.

Baru setelah Konstantinus I menjadi kristen pada awal abad ke-4, era kemakmuran dimulai lagi di Palestina. Kaisar itu membangun gereja yang megah di lokasi Makam Suci, tempat suci Kristen. Ibunya, Santa Helena, membangun dua gereja lainnya di tempat Kelahiran Yesus di Betlehem dan Gereja Kenaikan di Yerusalem. Ibu mertuanya, Eutropia, membangun gereja di Mamre.

Palestina mulai menarik para peziarah dari seluruh bagian kekaisaran. Kota itu juga menjadi pusat besar kehidupan pertapaan (monastisisme idioritmis). Para pria berbondong-bondong dari segala penjuru untuk menjadi pertapa di padang gurun Yudea, yang segera dipenuhi dengan biara-biara.

Pada akhir abad ke-4, Palestina yang diperluas dibagi menjadi tiga provinsi: Prima, dengan ibu kotanya di Caesarea; Secunda, dengan ibu kotanya di Scythopolis (Bet She'an); dan Salutaris, dengan ibu kotanya di Petra atau mungkin untuk sementara waktu di Elusa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com