TEPI BARAT, KOMPAS.com - Pada Jumat (24/11/2023) malam, ratusan orang mengibarkan bendera Palestina di wilayah Tepi Barat. Mereka merayakan kedatangan 39 tahanan yang dibebaskan oleh Israel, sebagai bagian dari kesepakatan dengan Hamas yang juga membebaskan sandera Israel.
Jeda pertempuran dan pertukaran sandera ini merupakan kabar baik pertama sejak dimulainya perang antara Israel-Hamas pada 7 Oktober lalu.
Sejak saat itu, mata dunia tertuju pada Gaza. Namun pertikaian juga terjadi di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Baca juga: Kenapa Israel Belum Duduki Tepi Barat?
Jumlah korban yang jatuh di Gaza mencapai lebih dari 14.000 jiwa dan di Israel 1.200 orang.
Adapun di Tepi Barat terdapat 206 warga Palestina yang tewas. Sebagian besar dari mereka tewas akibat bentrokan dengan pasukan keamanan Israel, namun sebanyak sembilan orang tewas di tangan pemukim Israel, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.
Dengan luas sekitar 5.655 kilometer persegi, wilayah ini memainkan peran sentral dalam konflik Israel-Palestina serta negara-negara Arab-Muslim selama 75 tahun.
Inilah sejarah wilayah pendudukan Tepi Barat dan relevansinya untuk memahami konflik antara Israel dan Palestina.
Wilayah Tepi Barat, seperti yang kita kenal sekarang, belum ada sebelum perang Arab-Israel pertama tahun 1948.
Perang itu memantapkan kemerdekaan Israel dan berpuncak pada gencatan senjata yang membuat Mesir mempertahankan Jalur Gaza dan Kerajaan Yordania menduduki Yerusalem Timur dan Tepi Barat.
“Status dan peran khusus Tepi Barat tercermin dari namanya. Sebelum tahun 1949 dan berdirinya negara Israel, istilah Tepi Barat tidak digunakan."
"Wilayah itu adalah bagian barat Mandat Inggris dan tidak dapat dibedakan dari wilayah lainnya,” tulis John P Richardson dalam studinya The West Bank: A Portrait.
Jadi, setelah pendudukan dan aneksasi wilayah-wilayah ini oleh Yordania, istilah tersebut mulai digunakan untuk membedakan wilayah Palestina di sebelah barat Sungai Yordan, dengan wilayah Yordania yang terletak di tepi timur sungai yang sama.
Raja Abdullah I dibunuh setahun kemudian oleh seorang Arab Palestina di Masjid Al Aqsa.
Meskipun warga Palestina di Tepi Barat kemudian menerima warga Yordania dan pemerintahan di Amman, hubungan antara penduduk di kedua sisi sungai tersebut tidak baik.
Sikap permusuhan warga Palestina terhadap Pemerintah Yordania meningkat karena dua alasan.
"Pasukan (Israel) kemudian melakukan serangan di Tepi Barat pada tahun 1948 dan membunuh banyak warga Palestina dan menyebabkan kehancuran,” kata Ian Lustick, profesor ilmu politik di Universitas Pennsylvania (AS), mengatakan kepada BBC Mundo.
“Alasan kedua adalah kebangkitan pemimpin Mesir, Gamal Abdel Nasser, dan pan-Arabisme. Dari pertengahan tahun 1950-an hingga akhir tahun 1960-an, Nasser adalah seorang pahlawan di dunia Arab dan rakyat Palestina. Mereka berharap dunia Arab akan bersatu melalui dia dan Palestina akan dibebaskan sehingga mereka dapat kembali ke rumah,” tambahnya.
Wacana pan-Arab ini bergema di kalangan warga Palestina di Tepi Barat dengan mendukung partai politik yang mempromosikannya. Namun karena organisasi-organisasi ini menentang monarki Yordania, Pemerintah Yordania menindas mereka.
Baca juga: Isi Deklarasi Balfour yang Bentuk Negara Israel dan Ubah Sejarah Bangsa Palestina
Pada saat itu, Tepi Barat merupakan tempat yang penting dalam keseluruhan permainan geopolitik di Timur Tengah, sampai-sampai William Macomber, Duta Besar AS untuk Yordania saat di bawah kepemimpinan John F Kennedy, menyebutnya sebagai “Berlin kecil”.
“Seperti Berlin pada masa Perang Dingin Eropa, Tepi Barat adalah tempat strategis yang paling sensitif, tempat kedua pihak yang berkonflik saling berhadapan,” kata Avshalom Rubin, menjelaskan metafora ini dalam bukunya berjudul The Limits of the Land: How the Struggle for the West Bank Shaped the Arab-Israeli Conflict.
“Dari tahun 1954 hingga 1967, konflik Arab-Israel ditentukan oleh upaya Mesir untuk mencapai hegemoni di dunia Arab bagian timur,” kata Rubin.
Hal ini tercermin dalam upaya Kairo untuk mempengaruhi orientasi politik negara-negara Arab.
Salah satu negara yang lebih lemah adalah Yordania dan negara ini justru menguasai Tepi Barat.
Hal ini membuat Israel khawatir.
“Mulai tahun 1949, para pemimpin Israel sangat menyadari betapa mudahnya tentara Arab mencapai kota-kota, jalan raya, dan pangkalan militer terbesar di Israel dari Tepi Barat,” kata Rubin.