Orang Israel khawatir dengan kerentanan monarki Yordania.
“Kerajaan Hashemite adalah ciptaan imperial Inggris di era dekolonisasi, sebuah negara lemah di era skema persatuan pan-Arab, sebuah monarki di masa kudeta populis."
"Tampaknya hanya masalah waktu sebelum Yordania bergabung dengan negara Arab yang lebih kuat, sehingga Israel akan menghadapi musuh yang kuat,” tambah Rubin.
Rubin menambahkan, untuk menghindari skenario ini, Israel memikirkan selama bertahun-tahun kemungkinan untuk menaklukkan Tepi Barat.
Oleh karena itu, Raja Hussein dari Yordania dipandang oleh Israel sebagai orang yang dapat mempertahankan Tepi Barat sebagai zona penyangga antara Israel dan musuh terkuatnya di Arab.
Menurut Rubin, kerajaan Yordania melihat perubahan sikap Israel dan lalu kedua belah pihak membuat kesepakatan diam-diam: Hussein akan menjaga perbatasan tetap tenang dan tentara Arab menjauh dari Tepi Barat, sementara Israel akan mengadvokasi Hussein ke Amerika Serikat dan menghalangi musuh raja yang mencoba menggulingkannya.
Situasi berubah pada 1967, dimulai dengan Perang Enam Hari, di mana Israel melipatgandakan wilayah yang dikuasainya dengan mengambil Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir; Dataran Tinggi Golan dari Suriah; Yerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania.
Ian Lustick menyatakan bahwa ada kehebohan besar dalam gerakan Zionis saat itu.
“Mereka berbicara dalam istilah sejarah, agama dan bahkan mesianis tentang makna reunifikasi ini. Jadi gerakan Zionis kembali ke isu yang sangat memecah belah: apa yang seharusnya menjadi cakupan teritorial negara?
"Dan mana yang lebih penting: menjadi negara kecil yang hanya dihuni sedikit orang Arab atau menjadi negara besar yang di dalamnya terdapat lebih banyak orang Arab? Pembahasan itu tidak pernah terselesaikan dan muncul kembali setelah tahun 1967,” ujarnya.
Sebagian wilayah tersebut sama dengan wilayah Yudea dan Samaria, yang menurut tradisi merupakan bagian dari kerajaan Israel yang dipimpin oleh Raja Daud dan diteruskan putranya, Raja Salomo.
Salah satu lokasi terpenting di Tepi Barat bagi Yudaisme adalah Hebron, tempat para leluhur Alkitab, Abraham, Ishak, dan Yakobus diyakini dimakamkan, bersama dengan pasangan mereka masing-masing Sarah, Rebecca, dan Leah.
Karena kesamaan warisan agama, tempat itu menjadi suci bagi umat Islam--yang membangun masjid di sana--dan juga untuk umat Kristen.
Namun selama berabad-abad, situs tersebut diperuntukkan bagi umat Islam. Baru pada 1967 dibuka untuk agama lainnya.
Kaum Zionis awal lebih bersifat sekuler daripada religius, menurut Ian Lustick.
Mereka menginginkan sebanyak mungkin wilayah di tanah kuno Israel, namun pada umumnya bersedia menyerahkan bagian-bagian yang menjadi tempat tinggal banyak orang Arab demi melestarikan karakternya: Negara baru Yahudi.
“Israel pada 1948 tidak mencakup banyak wilayah bersejarah utama seperti Tepi Barat atau Yerusalem Timur. Yang menarik adalah Ben Gurion (perdana menteri negara baru) memutuskan bahwa hal itu tidak cukup penting untuk melaksanakan perang,” catat Lustick.
Baca juga: Perang 6 Hari 1967 yang Mengubah Timur Tengah
Tak lama setelah Perang Enam Hari, Israel mulai membangun permukiman di beberapa bagian di wilayah Tepi Barat.
Selama dekade pertama pendudukan, hanya ada sedikit perlawanan sipil dari masyarakat Palestina.
Namun, situasinya berubah secara substansial pada akhir 1970-an, ketika pemerintahan Menachem Begin mulai membangun dengan kecepatan tinggi.
Selama masa jabatannya (1979-1983), jumlah tempat tinggal Israel meningkat tiga kali lipat dan jumlah pemukim meningkat lima kali lipat.
Begin adalah pendiri partai Likud--partainya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu saat ini--dan dikenal karena penolakannya yang gigih terhadap kemungkinan Israel menyerahkan kendali di Tepi Barat.
“Hak rakyat Israel atas tanah Israel adalah abadi (...) Oleh karena itu, Yudea dan Samaria tidak boleh diserahkan kepada pemerintahan asing,” demikian bunyi manifesto yang disampaikan oleh Partai Likud pada pemilu 1977.
Pembangunan permukiman--yang juga dibangun di Gaza, Sinai, Yerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan--adalah salah satu alasan utama kritik terhadap Israel.
Palestina menganggap pembangunan tersebut merupakan bagian dari rencana untuk mengusir warganya dan tindakan ilegal menurut hukum internasional.
Sementara itu, Jacob Shapiro, direktur analisis geopolitik dari Cognitive Investments, mengatakan kebijakan Israel mengenai permukiman berbeda-beda di setiap pemerintahan.
"Beberapa pemerintahan tidak menyetujui permukiman apa pun dan bahkan memerintahkan pembongkaran beberapa permukiman yang didirikan secara ilegal.