Namun selama sekitar empat jam, dunia menahan napas saat senjata-senjata melesat di langit malam. Itu adalah bola api yang melayang di atas kepala saat para penonton di tiga negara berbeda memfilmkan gambar-gambar yang tampaknya menandai dimulainya perang yang dahsyat.
Menurut Qiblawi, jeda waktu yang cukup (antara proyektil mulai diluncurkan dan tiba di sasaran) memungkinkan Israel dan para mitra regionalnya mempersiapkan pertahanan Israel, dan operasi tersebut tidak lebih dari sekedar pertunjukan kembang api yang menakutkan.
Saat misi tetap Iran di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mentwit bahwa operasi tersebut telah "berakhir," mudah bagi orang untuk berpikir bahwa Republik Islam Iran itu hanya hanya menggonggong dan tidak menggigit.
Serangan tersebut merupakan balasan terhadap serangan udara Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus (Suriah) awal April yang menewaskan seorang jenderalnya, dan hal ini sesuai dengan ekspektasi intelijen dan analis AS. Kepemimpinan Iran merasa terdorong untuk menyerang Israel demi menegaskan kembali posisinya sebagai kekuatan regional dan menghilangkan anggapan bahwa Iran hanyalah "macan kertas".
Baca juga: Mengenal Sistem Pertahanan Iron Dome Israel
Mereka menggandakan tampilan kekuatannya dengan meluncurkan operasi militer dari wilayahnya sendiri, bukan melalui proksi di Suriah, Lebanon, Yaman, atau Irak.
Namun Iran juga perlu berusaha menghindari terjadinya perang habis-habisan. Perekonomian negara itu telah terpuruk akibat sanksi yang diterapkan AS pada era Trump, dan terdapat peningkatan ketidakpuasan di kalangan masyarakat atas kebijakan represif pemerintah. Pada hari Minggu, Iran tampaknya tidak hanya memperhitungkan sistem pertahanan udara Israel yang kuat, namun juga mengandalkannya.
Informasi inteligen AS yang relatif banyak tentang operasi itu juga menunjukkan bahwa Iran mungkin telah melakukan komunikasi rahasia dengan para pemimpin Barat. Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Amir Abdollahian, mengatakan bahwa ia memberi tahu negara-negara tetangga, termasuk para sekutu utama AS, 72 jam sebelumnya tentang serangan itu.
Menurut analisis Qiblawi, untuk mengendalikan dampak operasi mereka sendiri, Iran tampaknya berusaha untuk menggagalkannya.
Model serangan pada Sabtu malam itu mengingatkan kita pada tanggapan Teheran terhadap pembunuhan jenderal paling terkenal Iran, Qassem Soleimani, pada Januari 2020. Pembunuhan itu atas Presiden AS saat itu, Donald Trump.
Teheran memberi peringatan 10 jam sebelumnya kepada pasukan AS sebelum menembakkan sejumlah rudal balistik ke posisi militer AS di Irak, termasuk pangkalan udara al-Asad. Serangan itu mendatangkan malapetaka, meninggalkan lubang menganga di tanah, namun tidak menimbulkan korban jiwa di pihak AS.