Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gaza Terancam Bencana Kelaparan karena Bantuan Diadang Israel

Kompas.com - 21/03/2024, 10:07 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

WARGA Jalur Gaza, Palestina, kini sangat rawan mengalami bencana kelaparan. Sejak perang Hamas dengan Israel pecah pada 7 Oktober 2023, yang dimulai dengan serangan Hamas ke wilayah Israel selatan, warga Gaza tidak hanya terancam keamanannya, mereka juga sulit mendapatkan pasokan makanan.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Blinken mengatakan, sekitar dua juta orang di Gaza mengalami “tingkat kerawanan pangan akut yang parah”. Sebanyak 27 anak di Gaza utara telah tewas akibat malanutrisi dan banyak warga terpaksa memakan pakan ternak karena putus asa, tidak ada pilihan pangan lain.

Kerawanan pangan akut mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk mengonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup sehingga bisa membahayakan nyawa orang itu.

Baca juga: Kelaparan di Gaza Meningkat, PBB: Bisa Picu Warga Eksodus ke Mesir

Menurut Integrated Food Security Phase Classification (IPC), kerawanan pangan akut dapat dibagi menjadi lima fase tergantung tingkat keparahannya, mulai dari fase satu atau tidak ada kerawanan, sampai dengan fase lima atau bencana kelaparan.

Bencana kelaparan didefinisikan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) sebagai situasi di mana sebagian besar penduduk di suatu wilayah tidak mampu mengakses makanan yang cukup sehingga dapat berujung pada malanutrisi akut sampai kematian akibat dari kelaparan dan penyakit.

Sebuah wilayah disebut telah mengalami kerawanan pangan akut fase lima harus memenuhi beberapa kategori, seperti setidaknya 20 persen penduduk berada dalam fase lima, 1 dari 3 anak mengalami kekurangan gizi akut, dan 2 kematian untuk setiap 10.000 penduduk, serta 4 kematian anak dari 10.000 anak per hari akibat kelaparan, kekurangan gizi, atau penyakit.

Bencana Kelaparan Mengancam 2,2 Juta Orang

Berdasarkan data dan analisis IPC, jumlah warga Gaza yang akan mengalami kerawanan pangan akan terus bertambah setiap bulannya. Dari Maret ini sampai Juli nanti, IPC memprediksi jumlah orang yang akan mengalami kerawanan pangan di Gaza akan meningkat sampai dengan 2.226.544 orang. Dari jumlah tersebut, diprediksi 1.106.945 orang akan mengalami kerawanan pangan level tinggi (atau bencana kelaparan).

Baca juga: Kelaparan Parah di Gaza Bisa Mengakibatkan Kematian Massal

IPC juga melaporkan, kekurangan persediaan pangan berarti “hampir semua rumah tangga melewatkan waktu makan setiap hari dan orang dewasa mengurangi porsi makan mereka agar anak-anak dapat makan”.

Dalam laporannya, IPC memperkirakan sekitar 2 dari 3 rumah tangga di Gaza utara “menjalani siang dan malam tanpa makan setidaknya 10 kali dalam 30 hari terakhir. Di wilayah selatan, hal ini berlaku untuk 1 dari 3 rumah tangga”.

“Masyarakat internasional harus menanggung malu karena gagal menghentikannya,” kata Martin Griffiths, koordinator bantuan utama PBB, di platform media sosial X (dulu bernama Twitter). Griffiths menambahkan, “Kami tahu bahwa begitu bencana kelaparan diumumkan, itu sudah terlalu terlambat."

Baca juga: Menlu AS: 100 Persen Penduduk Gaza Alami Tingkat Kerawanan Pangan Akut yang Parah

Jeremy Konyndyk, kepala Refugees International dan mantan pejabat pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden mengatakan, “Dalam 25 tahun saya sebagai seorang aktivis kemanusiaan, hal ini mungkin merupakan analisis paling mengerikan yang pernah saya lihat.”

AS, Yordania, dan para pengamat internasional lainnya memilih untuk mengirimkan paket makanan ke Gaza utara melalui parasut. Langkah itu merupakan opsi terakhir.

Meski begitu, Michael Fakhri, penyelidik khusus PBB untuk isu hak atas makanan memperingatkan bahwa bantuan via udara tidak akan memberikan efek signifikan dalam mengurangi kelaparan atau malnutrisi. Selain itu, pengiriman bantuan lewat udara tidak akan berkontribusi apapun dalam memperlambat kelaparan.

Israel Tak Terima Dituding Penyebab Bencana

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk menjelaskan, bencana kelaparan yang terjadi di Gaza merupakan “buatan manusia dan sepenuhnya dapat dihindari”. Turk menuduh Israel. Dia menyatakan, adanya “pembatasan ekstensif terhadap masuk dan distribusi bantuan kemanusiaan dan barang-barang komersial, pengungsian sebagian besar penduduk, serta penghancuran infrastruktur sipil yang penting” mengakibatkan fenomena ini dapat terjadi.

Turk menjelaskan, pembatasan tersebut "mungkin sama dengan penggunaan kelaparan sebagai metode perang, yang merupakan kejahatan perang".

Perwakilan Israel untuk PBB di Jenewa membantah tuduhan Türk. Dia sebaliknya menuduh Turk telah "sepenuhnya mengabaikan tanggung jawab PBB dan Hamas".

“Israel melakukan segala cara untuk membanjiri Gaza dengan bantuan, termasuk melalui darat, udara dan laut,” tegasnya.

Pernyataan tersebut kemudian dibantah oleh para pekerja bantuan. Mereka mengatakan, sebagian besar masalah di Gaza utara disebabkan oleh buruknya keamanan pada saat konvoi bantuan karena Israel menargetkan polisi yang mengawal kiriman bantuan itu.

Pemerintah Israel juga dituduh tidak mematuhi instruksi Mahkamah Internasional untuk memfasilitasi upaya bantuan kepada warga Palestina.

Menurut Oxfam, sebuah lembaga non-pemerintah yang berfokus pada kemiskinan dan ketidakadilan global, pemerintah Israel “pada akhirnya harus bertanggung jawab atas kegagalan respons internasional terhadap krisis di Gaza”. Dalam laporannya, Oxfam merincikan bagaimana pihak berwenang Israel telah secara sewenang-wenang menolak barang bantuan dengan klaim barang-barang bantuan tersebut dapat digunakan untuk tujuan ganda (barang sipil sekaligus tujuan militer), contohnya seperti obor, baterai, dan pasokan medis.

Baca juga: Bagaimana Caranya Bantuan Kemanusian Masuk ke Gaza?

Oxfam menuduh Israel menghambat para pekerja kemanusiaan dengan menghentikan distribusi peralatan-peralatan penting, seperti alat komunikasi, rompi pelindung, mobil lapis baja, generator, dan perumahan prefabrikasi (rumah cepat bangun) untuk staf.

“Beberapa barang mungkin lolos pada satu hari dan ditolak pada hari berikutnya. Daftar barang yang ditolak sangat banyak dan selalu berubah,” kata Oxfam. Contohnya dalam sebuah kasus, barang-barang termasuk kantung air dan alat tes untuk air minum ditolak tanpa alasan, namun tiba-tiba diizinkan masuk.

“Pengiriman peralatan pengujian kualitas air dari Oxfam belum dapat dikirimkan sejak bulan Desember,” kata Oxfam.

“Sering kali ketika sebuah barang dianggap ‘penggunaan ganda’ oleh Israel, truk tersebut terpaksa keluar dari antrean. Mengisi ulang truk untuk bisa masuk jalur inspeksi lagi bisa memakan waktu 20 hari.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com