Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Kekristenan di Gaza

Kompas.com - 07/02/2024, 06:00 WIB
Egidius Patnistik

Penulis

SERANGAN rudal Israel, Oktober lalu, terhadap Gereja Santo Porfirius (Porphyrius) yang dibangun pada abad kelima di Gaza membuat populasi orang Kristen di wilayah kantong Palestina yang terkepung itu menjadi sorotan.

Sedikitnya 18 orang tewas dalam pengeboman di paviliun layanan sosial di kompleks gedung Gereja Kristen Ortodoks Yunani tersebut.

Baik orang Muslim maupun kristen berlindung di dalam tembok kompleks gereja itu dengan harapan bahwa nilai historis dan keagamaan tempat itu akan menghindarkan mereka dari serangan Israel.

Saat ini, dari total dua juta jiwa penduduk Jalur Gaza, terdapat komunitas kecil orang Kristen. , Jumlahnya sekitar 1.000 orang. Orang-orang Kristen itu mayoritas beraliran Ortodoks Yunani, ada juga Katolik Roma.

Populasi orang Kristen di Palestina merosot signifikan sejak tahun 1948, ketika sekitar 750.000 warga Palestina diusir rumah-rumah mereka saat negara Israel didirikan.

Baca juga: Komunitas Kristen di Gaza Terancam Punah karena Perang

Tempat Kelahiran Agama Kristen

Sebagai bagian dari wilayah Palestina yang bersejarah, mustahil untuk memisahkan sejarah umat Kristen Palestina di Gaza dari umat Kristen di Tepi Barat yang diduduki, Yerusalem, dan komunitas Palestina di Israel. Wilayah itu merupakan tempat kelahiran agama Kristen dan lokasi dari banyak peristiwa yang dikisahkan dalam Kitab Perjanjian Lama dan Baru.

Umat Kristen Palestina di Gaza, seperti warga Palestina lainnya di sana, tidak menganggap diri mereka terpisah dari bangsa Palestina secara umum.

Namun, ada sejarah Kristen yang unik dan spesifik di Gaza. Meskipun kini hanya terdapat sekitar seribu orang Kristen di sana, wilayah itu memiliki arti khusus dalam pengembangan iman Kristen.

Wilayah itu disebutkan namanya dalam Perjanjian Baru, yaitu dalam Kisah Para Rasul Bab 8, yang mengacu pada Rasul Filipus yang membaptis seorang pria Etiopia di jalan antara Yerusalem dan Gaza.

Baca juga: Sejarah Kekristenan di Gaza

"Kemudian berkatalah seorang malaikat Tuhan kepada Filipus, katanya: "Bangunlah dan berangkatlah ke sebelah selatan, menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza." Jalan itu jalan yang sunyi (sebuah padang gurun)." Demikian bunyi ayat tersebut. Jarak antara Yerusalem dan Gaza sekitar 75 kilomoter.

Ada juga beberapa situs bersejarah Kristen yang tidak hanya penting bagi orang lokal tetapi juga penting bagi umat Kristen secara umum. Lokasi serangan rudal Israel pada Oktober lalu, Gereja Santo Porfirius, merupakan salah satu situs keagamaan terpenting di Palestina.

Gereja itu dinamai berdasarkan nama seorang uskup abad kelima. Situs tersebut merupakan salah satu tempat ibadah tertua yang masih ada di wilayah itu dan salah satu gereja tertua di dunia.

Gereja itu awalnya dibangun tahun 425 M dan kemudian dibangun kembali oleh Tentara Salib pada abad ke-12. Sebagian besar struktur bangunan yang ada saat ini berasal dari periode tersebut.

Situs Kristen besar lainnya di Gaza adalah biara Tell Umm Amer yang terletak di dekat dengan Gereja Santo Porfirius. Usia biara itu bahkan lebih tua. Bangunan dari abad keempat itu, yang kini sebagian besar berupa reruntuhan, pernah mencakup gereja, ruang baptisan, kuburan, dan ruang bawah tanah.

Biara itu berfungsi sebagai tempat ibadah bagi mereka yang melakukan perjalanan antara Mesir dan Syam (Levant), termasuk Palestina dan Suriah.

Situs itu terkenal sebagai tempat kelahiran Santu Hilarius (Hilarion), seorang biarawan Palestina dari abad keempat, yang membantu merintis hidup bertapa (monastisisme).

Penyebaran Agama Kristen

Kehadiran gereja-gereja dan biara-biara perdana itu, serta adanya referensi dalam Alkitab, menunjukkan bahwa agama Kristen di Gaza telah berakar seiring dengan berkembangnya agama itu di wilayah tersebut.

Namun penerimaan terhadap agama kristen secara luas baru terjadi pada abad kelima. Menurut Nicole Belayche, profesor emerita di Ecole Pratique des Hautes Études, Paris yang antara lain membuat penelitian tentang pemujaan berhala di Kekaisaran Romawi, kekuatan kultus pagan di Gaza sebelum abad kelima "tak terbantahkan".

Dalam esainya di buku Christian Gaza in Late Antiquity, dia menulis bahwa ketika Porfirius ditahbiskan menjadi uskup di Gaza, populasi umat Kristen berjumlah "kurang dari tiga ratus dari total populasi yang diperkirakan sekitar 20.000 - 25.000 orang".

Konversi massal orang Gaza ke agama Kristen dimulai pada abad kelima pada masa kekuasaan Kekaisaran Bizantium, penerus Kekaisaran Romawi Timur.

“Ini merupakan proses yang sulit dan membutuhkan intervensi kekaisaran,” tulis Belayche.

Menurut dia, keraguan orang-orang pagan itu untuk masuk ke dalam kekristenan kemudian dapat diatasi oleh upaya orang-orang suci, seperti Porfirius, dan karena adanya penggabungan ritual adat setempat ke dalam ritual gereja.

Meski agama Kristen kemudian dianut secara luas pada akhir abad keenam, hal itu tidak berlangsung lama karena kemudian muncul agama dominan yang baru.

Dalam buku History of the City of Gaza, sarjana Yahudi-Amerika, Martin A Meyer, pada akhir abad ke-19 menulis, "Iman baru ini hampir tidak memiliki cukup waktu untuk berkembang sebelum Islam menyapunya dari wilayah ini selamanya."

Pernyataan Meyer itu bersifat hiperbolis. Ada benarnya bahwa selama berabad-abad setelah penaklukan wilayah itu oleh orang-orang Arab, sebagian besar penduduknya masuk Islam. Namun masih ada kelompok minoritas kristen di Gaza, yang bertahan selama berabad-abad dan sempat menikmati perkembangan singkat di bawah pemerintahan Tentara Salib pada abad ke-12.

Kekristenan modern dan "Ancaman Kepunahan"

Seperti warga Palestina lainnya, banyak umat Kristen di wilayah itu yang terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak berdirinya negara Israel tahun 1948. Akibatnya, populasi orang Kristen di Gaza terus menyusut selama beberapa dekade, sebuah tren yang terus berlanjut setelah Nakba (bencana).

Istilah nakba itu merujuk pada peristiwa yang terjadi tahun 1948, ketika pendirian negara Israel menyebabkan pengusiran massal dan pelarian sekitar 750.000 orang Palestina dari rumah dan tanah mereka. Peristiwa ini menandai awal dari konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina, yang memiliki akar historis dan politis yang dalam.

Menurut laporan The Guardian, ada 6.000 umat Kristen Palestina di Gaza pada pertengahan tahun 1960-an dan jumlah tersebut telah menurun menjadi 1.000 saat ini.

Sejak pengepungan Israel di Gaza dimulai tahun 2007, umat kristen menghadapi pembatasan pergerakan yang sama seperti yang dialami tetangga muslim mereka. Mereka terputus dari komunitas kristen yang lebih besar di Tepi Barat dan Yerusalem.

Mereka memerlukan izin Israel untuk melakukan perjalanan ke daerah-daerah tersebut jika hendak mengikuti acara keagamaan. Permintaan izin itu, dalam banyak kasus, ditolak oleh pihak Israel.

Mitri Raheb, pendeta Gereja Lutheran Evangelis dan pendiri Universitas Dar al-Kalima di Betlehem, mengatakan bahwa Perang Israel dengan Hamas saat ini dapat mengakhiri sejarah panjang kekristenan di wilayah tersebut.

“Komunitas ini terancam punah,” kata Raheb kepada Al Jazeera. “Saya tidak yakin apakah mereka akan selamat dari pengeboman Israel, dan bahkan jika mereka selamat, saya rasa banyak dari mereka yang ingin pindah.” “Kami tahu bahwa dalam generasi ini, kekristenan tidak akan ada lagi di Gaza,” tambah dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com