Konflik tersebut menyebabkan ratusan ribu pengungsi Palestina akhirnya menetap di Jalur Gaza.
Dengan penandatanganan gencatan senjata, Gaza diduduki dan dikelola oleh Mesir hingga 1967, tahun meletusnya Perang Enam Hari yang memperhadapkan Israel dengan koalisi Arab yang dibentuk Republik Persatuan Arab (nama resmi Mesir dan Suriah sebelumnya), Yordania, dan Irak.
Setelah menang dalam konflik ini, Israel menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur sehingga memicu rentetan bentrokan kekerasan yang berlanjut hingga saat ini.
Perjanjian Oslo tahun 1993 antara Israel dan Palestina melahirkan Otoritas Nasional Palestina (PNA) yang memberikan otonomi terbatas kepada Gaza dan sebagian Tepi Barat yang diduduki.
Israel menarik pasukannya dan sekitar 7.000 pemukim dari Jalur Gaza pada 2005, setelah intifada kedua yang lebih berdarah.
Setahun kemudian, Hamas meraih kemenangan telak dalam pemilu Palestina, yang memicu perebutan kekuasaan pada 2007 antara Hamas dan partai Fatah, pimpinan Presiden Otorita Palestina, Mahmoud Abbas.
Kelompok milisi ini meraih kemenangan di Gaza dan tetap berkuasa di Jalur Gaza sejak saat itu, bertahan dalam tiga perang dan blokade selama 16 tahun.
Dalam beberapa tahun terakhir mereka telah menyerang wilayah Israel dengan ribuan roket dan melakukan serangan mematikan lainnya.
Kelompok ini didukung oleh Iran, yang mendanai dan menyediakan senjata serta pelatihan.
Baca juga: Perang 6 Hari 1967 yang Mengubah Timur Tengah
Setelah Hamas berkuasa, Israel dan Mesir memberlakukan blokade darat, udara, dan laut di Gaza.
Meskipun ada seruan dari PBB dan kelompok hak asasi manusia, Israel tetap mempertahankan blokade tersebut sejak 2007.
Blokade tersebut berdampak buruk pada warga sipil Palestina yang menghadapi pembatasan pergerakan secara ketat.
Israel melarang warga Palestina memasuki atau meninggalkan wilayah tersebut “kecuali dalam kasus yang sangat jarang terjadi, mencakup kondisi medis mendesak yang mengancam jiwa dan beberapa pedagang yang jumlahnya sangat sedikit,” menurut B’Tselem, sebuah kelompok hak asasi manusia Israel.
Human Rights Watch menyebut kondisi di Gaza sebagai “penjara terbuka,” mengacu pada pembatasan pergerakan yang diberlakukan Israel terhadap warga Palestina di sana.
Israel mengatakan blokade, yang membuatnya dapat mengendalikan perbatasan Gaza, diperlukan untuk melindungi warga Israel dari Hamas.
Komite Palang Merah Internasional menganggap blokade itu ilegal dan melanggar Konvensi Jenewa, tuduhan yang dibantah oleh pejabat Israel.
PBB, berbagai kelompok hak asasi manusia, dan ahli hukum, menilai bahwa Gaza masih berada di bawah pendudukan militer Israel.
Dalam upaya mengatasi blokade, Hamas membangun jaringan terowongan yang digunakan untuk membawa barang dan senjata ke Jalur Gaza dan juga sebagai pusat komando bawah tanah.
Israel melihat terowongan-terowongan ini sebagai ancaman dan sering menargetkannya saat melakukan serangan udara.
Baca juga: Kenapa Israel Belum Duduki Tepi Barat?