KOMPAS.com - Penggunaan gas air mata sebagai alat "pengontrol massa" telah meluas di berbagai negara. Dalam pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, polisi diketahui menggunakan gas air mata di dalam stadion, meski bertentangan dengan aturan FIFA.
Gas air mata diklasifikasikan sebagai senjata kimia secara internasional dan dilarang penggunaannya di saat perang.
Atas alasan ini, para penentang penggunaan gas air mata telah mempertanyakan penggunaannya oleh aparat dalam mengatasi protes di jalanan dan berkata akibatnya dapat berbahaya.
Baca juga: Soal Tragedi Kanjuruhan, Malaysia: Kami Siap Beri Bantuan Apa Pun
Sementara kepolisian pada umumnya menganggap gas air mata lebih aman ketimbang kekerasan dan senjata api.
Ketika ditembakkan, partikel-partikel solid akan tersebar ke udara dalam bentuk kepulan asap.
Gas air mata bekerja dengan cara mengiritasi selaput lendir di mata, hidung, mulut, dan paru-paru. Pada dasarnya bagian-bagian tubuh yang bertanggung jawab untuk penyerapan dan eksresi.
Ada banyak jenis gas air mata. Yang paling umum adalah gas CS, atau nama panjangnya: o-chlorobenzylidene malononitrile. Nama CS diambil dari inisial penemunya, Corson dan Staughton.
Gas air mata biasanya ditembakkan dari tabung untuk membubarkan kerumunan atau sekelompok besar orang yang dianggap sebagai ancaman.
Mata akan berair karena sensasi terbakar, kesulitan bernapas, sakit di bagian dada, iritasi pada kulit, dan kebutaan sementara.
Profesor Alastair Hay, yang mempelajari dampak senjata kimia di Universitas Leeds, Inggris, berkata meski gas air mata dianggap sebagai opsi yang lebih aman, kematian terkadang terjadi karenanya.
Kerap kali ini terjadi ketika orang-orang kesulitan bernapas dalam keadaan terbatas karena penahanan polisi, sehingga mereka tidak bisa menghirup udara segar.
Aktivitas fisik seperti berlari dan ekspos berulang terhadap gas air mata dapat mengakibatkan gejala semakin buruk.
Efek gas air mata akan lebih parah bila orang yang terkena mengidap asma atau masalah pernapasan bawaan.