Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

China Salurkan Utang dan Hibah Rp 12 kuadriliun ke 165 negara: Pemberi Pinjaman yang Baik atau Lintah Darat?

Kompas.com - 30/09/2021, 21:57 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Editor

Di masa lalu, negara-negara Barat bersalah karena menjerumuskan negara-negara Afrika ke lubang utang.

China meminjamkan dengan cara berbeda: alih-alih mendanai proyek dengan cara memberikan hibah atau meminjamkan uang dari satu negara ke negara lainnya, hampir semua uang itu didapatkan dalam bentuk pinjaman bank milik pemerintah China.

Pinjaman tersebut tak muncul dalam pembukuan resmi pemerintah. Karena itulah nama lembaga pemerintah pusat tidak muncul dalam banyak kesepakatan antara bank dengan negara peminjam. Hal semacam ini agar neraca perekonomian China tetap terjaga, serta menyembunyikan klausul-klausul kerahasiaan yang bisa mencegah pemerintah mengetahui secara pasti apa yang telah disepakati secara sembunyi-sembunyi.

AidData menghitung utang yang tak dicatat dalam pembukuan resmi pemerintah China mencapai 385 miliar dollar AS.

Banyak kesepakatan dalam pinjaman jangka pendek China juga menuntut agunan yang tak biasa. Semakin meningkat, utang China tampaknya menuntut peminjam untuk menjanjikan uang tunai yang berasal dari penjualan sumber daya alam.

Baca juga: Berapa Lonjakan Utang Pemerintah di 2 Periode Jokowi sejak 2014?

Kesepakatan dengan Venezuela misalnya, menuntut mereka menyetor mata uang asing [sebagai deposito] yang diperoleh dari penjualan minyak secara langsung ke rekening bank yang dikendalikan pemerintah China. Jika pembayaran utang lewat tenggat waktu, pemberi pinjaman dari China dapat segera menarik uang tunai dari rekening tersebut.

"Ini benar-benar nampak seperti strategi roti dan mentega, yang mereka gunakan untuk memberikan sinyal kepada para peminjam bahwa 'Kamilah bosnya'," jelas Brad Parks. Pesan mereka adalah: 'Kalian akan kembali bayar utang pada kami sebelum yang lain, karena kamilah satu-satunya sangat penting untuk kalian.'

"Ini pendapatan bagi negara-negara miskin, dollar dan euro, untuk mengunci mereka dalam di rekening luar negeri yang dikontrol oleh kekuatan asing."

"Apakah China pintar?" tanya Anna Gelpern, seorang professor hukum Georgetown yang terlibat dalam penelitian AidData awal tahun ini. Ia terlibat dalam pemeriksaan kontrak utang dari China.

"Menurut saya, kesimpulan kami adalah mereka kuat dan licin dalam kontrak ini. Mereka sangat melindungi kepentingan mereka sendiri."

Negara-negara bisa menjadi peminjam yang sulit [untuk ditagih], jelas Gelpern, dan tidak praktis mengharapkan mereka menyerahkan aset secara fisik seperti pelabuhan, jika mereka tak mampu membayar utang.

China mungkin akan segera menghadapi kompetisi dari dunia internasional. Pada pertemuan negara-negara maju, G7, Juni lalu, AS dan sekutunya mengumumkan inisiatif "Build Back Better World" initiative, dengan janji untuk mendanai proyek infrastruktur global yang berkelanjutan secara finansial dan lingkungan.

Namun, rencana itu mungkin datang terlambat.

Baca juga: Bengkak Lagi, Utang Pemerintah Jokowi Naik Jadi Rp 6.625 Triliun

"Saya ragu kalau inisiatif negara-negara Barat akan membuat banyak tekanan pada program China," kata David Dollar, peneliti di Brookings Institution sekaligus mantan perwakilan Departemen Keuangan AS di China.

"[Inisiatif-inisiatif baru itu] tidak akan cukup uang riil untuk mengatasi skala kebutuhan infrastruktur yang dibutuhkan di negara berkembang. Juga, bekerja sama dengan otoritas keuangan Barat itu birokratis dan dapat tertunda dalam jangka waktu lama."

Para peneliti AidData menemukan bahwa proyek Belt and Road (BRI) sedang menghadapi persoalannya sendiri. Proyek BRI lebih cenderung dikaitkan dengan korupsi, persoalan perburuhan, atau isu lingkungan dari pada kesepakatan pembangunan China yang lainnya.

Untuk menjaga agar BRI tetap pada jalurnya, para peneliti mengatakan, Beijing tak akan punya pilihan selain mengatasi kekhawatiran peminjam.

Baca juga: Negara Miskin Utang ke China Rp 5,5 Kuadriliun, Proyek Infrastruktur Jebakan Terselubung?

Proyek China di Indonesia

Sejak Presiden Xi Jinping mempromosikan program ambisiusnya 2013, saat itu ia sempat berkunjung ke Jakarta untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam pertemuan itu, Indonesia meneken puluhan kesepakatan kerja sama dengan China terkait dengan pertambangan, bubur kertas, properti, jalur kereta api, infrastruktur dan semen. Total nilai komitmen kerja sama mencapai 28,2 miliar dollar AS (Rp 401 triliun).

"Kita sekali lagi membuat sejarah dengan menyepakati untuk menjalin kerja sama strategis yang komprehensif. Saya yakin di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping kita akan dapat meningkatkan kerja sama bilateral kita di masa depan," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti dikutip Antara.

Pada 2017, kerja sama terkait dengan program BRI berlanjut. Presiden Joko Widodo berada di antara 29 kepala negara dan perwakilan yang ikut serta dalam "Belt and Road Forum for International Cooperation". Dalam kesempatan itu, Presiden Xi mengumumkan telah menyiapkan anggaran 55,09 miliar dollar AS untuk mendukung proyek BRI untuk perluasan jaringan antara Asia, Afrika dan Eropa.

Satu bulan pasca dilantik menjadi presiden periode 2014-2019, Joko Widodo juga melakukan kunjungan kehormatan ke Presiden Xi Jinping. Antara melaporkan kedua kepala negara melakukan pembicaraan bilateral membahas perkembangan hubungan dan kerja sama kedua negara.

Baca juga: AS Terancam Sulit Bayar Utang Rp 400.000 Triliun, Sri Mulyani Ikut Waswas

Pada 2019, Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla, juga menghadiri Forum BRI di China. Hasil dari pertemuan itu di kemudian hari menghasilan 23 proyek kerjasama Indonesia-China yang akan dibangun di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku dan Bali.

Proyek-proyek tersebut meliputi, pembangunan kawasan industri dan infrastruktur penunjang Taman Kuning, Kaltara, proyek pembangkit listrik hasil olahan sampah di Sulawesi Utara dan Taman Teknologi di Pulau Kura-kura di Bali.

Dalam satu kesempatan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan meyakini Indonesia bisa menghindari jebakan utang dalam kerja sama pembangunan dengan China ini.

Dalam kerjasamanya, kata dia, Indonesia menggunakan perjanjian B to B (antar badan usaha), bukan G to G (antar pemerintah). Sehingga tidak ada uang pemerintah yang disertakan dalam proyek itu.

Berdasarkan laporan Bank Indonesia, Posisi utang Indonesia per Juli 2021 mencapai 451,6 miliar dollar AS (Rp 5.912 triliun) yang meliputi utang pemerintah, lembaga keuangan, BUMN dan sektor swasta. Jumlahnya dua kali lipat dari APBN tahun-tahun terakhir.

Sementara utang Indonesia pada China per Juli 2021 mencapai 21,12 miliar dollar AS (Rp 300,9 triliun). Jumlah ini meningkat enam kali lipat dalam 10 tahun terakhir, yaitu $3,7 miliar. China merupakan pemberi pinjaman nomor empat terbesar di Indonesia setelah Singapura, Amerika Serikat dan Jepang.

Dalam perkembangan terakhir, Presiden Xi Jinping menghentikan dukungan pendanaan proyek batu bara. Hal ini juga menandai pergeseran kebijakan dalam BRI.

Baca juga: Sri Mulyani Janji Bakal Kendalikan Lonjakan Utang Pemerintah

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com