Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Iklim Berdampak pada Ketidaksetaraan Gender

Kompas.com - 25/03/2024, 10:32 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

POPULASI manusia bertambah setiap hari dan jumlah kebutuhannya terus meningkat. Namun, bersamaan dengan itu Bumi semakin menua.

Beberapa wilayah mulai kekeringan akibat tingginya suhu dan rendahnya curah hujan. Di sisi yang lain, ada wilayah yang rawan bencana seperti banjir atau kebakaran hutan. Tidak hanya itu, kini dalam mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar perlu berhati-hati karena tingginya polusi, mulai dari polusi air hingga polusi udara.

Tidak hanya manusia, hewan dan tumbuhan juga terancam kehidupannya karena iklim yang semakin tidak menentu. Isu iklim dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu fokus dalam forum-forum internasional. Beberapa upaya juga telah dilakukan guna mencegah kondisi ini menjadi lebih buruk.

Baca juga: Perparah Krisis Lingkungan, Negara Diharapkan Tak Bergantung pada Industri Ekstraktif

Salah satu upaya global dalam menangani isu iklim adalah dengan menetapkan batas kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celcius dari suhu pra-industri. Namun, laporan State of the Global Climate dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang berbasis di Geneva, Swiss, menyampaikan adanya kekhawatiran bahwa misi tersebut akan sukit tercapai melihat realitas saat ini.

“Belum pernah kita sedekat ini, walaupun hanya sementara, pada batas bawah 1,5°C sesuai perjanjian Paris mengenai perubahan iklim,” kata Sekretaris Jenderal WMO, Celeste Saulo. “Komunitas WMO menyuarakan peringatan merah kepada dunia,” lanjut Saulo.

Menurut Copernicus Climate Service Uni Eropa, rata-rata suhu global pada Maret 2023 hingga Februari 2024 telah melampaui batas 1,5 derajat Celcius dengan suhu rata-rata yaitu 1,56 derajat Celcius.

“Bumi mengeluarkan seruan darurat,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres. “Laporan State of the Global Climate terbaru menunjukkan bahwa planet kita berada di ambang kehancuran. Polusi bahan bakar fosil membuat kekacauan iklim semakin parah.”

Krisis iklim akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kelayakan Bumi. Semakin parah krisis iklim, semakin tidak sehat Bumi untuk ditinggali. Terlebih lagi, krisis iklim juga dapat memicu berbagai macam masalah kemanusiaan mulai dari kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, pemindahan paksa, bahkan hingga ketidaksetaraan gender.

Tahun 2022, sebanyak 84 persen pencari suaka dan pengungsi berasal dari negara-negara yang rawan akan krisis iklim. Angka ini meningkat pesat dari tahun 2010 yang hanya 61 persen. Demikian menurut data Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

Di saat yang sama, ada sejumlah besar kelompok yang justru terpaksa berpindah ke negara rawan krisis iklim. Di tempat baru tersebut mereka kemudian kesulitan mendapatkan akses kepada kebutuhan-kebutuhan dasar.

Adapun kelompok-kelompok yang dilaporkan paling terdampak dari krisis iklim salah satunya adalah perempuan. Hal ini diakibatkan oleh peran, tanggung jawab, dan norma budaya yang berlaku di lingkungan mereka tinggal.

Baca juga: Pandemi Memperburuk Ketidaksetaraan Gender, Kok Bisa?

Bagi perempuan, krisis iklim dapat berperan sebagai pengganda ancaman. Banyak perempuan dalam kehidupan sehari-hari sudah berhadapan dengan ketidaksetaraan gender. Ketika krisis iklim melanda, kesenjangan semakin memburuk.

PBB menemukan, krisis iklim dapat meningkatkan resiko kekerasan kepada perempuan oleh pasangan, anak perempuan dikeluarkan dari sekolah, hingga pernikahan anak.

Selain hal-hal di atas, krisis iklim juga dapat meningkatkan resiko pelecehan seksual dan perdagangan manusia.

Menurut laporan tahun 2022 dari PBB untuk Narkoba dan Kejahatan, krisis iklim menghancurkan mata pencaharian, membuat orang jatuh miskin dan memaksa mereka meninggalkan rumah serta komunitasnya. Bagi perempuan, hal ini memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi seksual.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Siapa Saja yang Berkuasa di Wilayah Palestina Sekarang?

Siapa Saja yang Berkuasa di Wilayah Palestina Sekarang?

Internasional
Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Internasional
Genosida Armenia, Apa Itu?

Genosida Armenia, Apa Itu?

Internasional
Mengapa Persia Berubah Nama Menjadi Iran

Mengapa Persia Berubah Nama Menjadi Iran

Internasional
Sejarah Panjang Hubungan Korea Utara dan Iran

Sejarah Panjang Hubungan Korea Utara dan Iran

Internasional
Mengapa Ukraina Ingin Bergabung dengan Uni Eropa?

Mengapa Ukraina Ingin Bergabung dengan Uni Eropa?

Internasional
Siapa Kelompok-kelompok Pro-Israel di AS?

Siapa Kelompok-kelompok Pro-Israel di AS?

Internasional
Mengenal Kelompok-kelompok Pro-Palestina di AS

Mengenal Kelompok-kelompok Pro-Palestina di AS

Internasional
Secara Ekonomi, Cukup Kuatkah Iran Menghadapi Perang dengan Israel?

Secara Ekonomi, Cukup Kuatkah Iran Menghadapi Perang dengan Israel?

Internasional
Mengapa Israel Menyerang Kota Isfahan di Iran?

Mengapa Israel Menyerang Kota Isfahan di Iran?

Internasional
Apa Status Palestina di PBB?

Apa Status Palestina di PBB?

Internasional
Alasan Mogok Kerja Para Dokter di Kenya

Alasan Mogok Kerja Para Dokter di Kenya

Internasional
Posisi Yordania Terjepit Setelah Ikut Tembak Jatuh Rudal Iran

Posisi Yordania Terjepit Setelah Ikut Tembak Jatuh Rudal Iran

Internasional
Asia Tenggara Jadi Tujuan Utama Perdagangan Sampah Impor Ilegal

Asia Tenggara Jadi Tujuan Utama Perdagangan Sampah Impor Ilegal

Internasional
Junta Myanmar Dituding Pakai Warga Rohingya sebagai “Perisai Manusia”

Junta Myanmar Dituding Pakai Warga Rohingya sebagai “Perisai Manusia”

Internasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com