Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berbagai Penyebab Meningkatnya Kekerasan Geng di Ekuador

Kompas.com - 26/03/2024, 20:21 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

WALI KOTA Kota termuda Ekuador, Brigitte Garcia, ditemukan tewas tertembak di dalam mobilnya pada Minggu (24/3/2024). Wali kota dari pesisir San Vicente yang baru berusia 27 tahun tersebut ditemukan tewas bersama penasihatnya, Jairo Loor.

Dalam keterangan polisi tertulis, Garcia dan Loor ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa dengan luka tembak. Polisi nasional Ekuador kemudian menambahkan bahwa keduanya ditembak dari dalam mobil.

Kasus pembunuhan Brigitte Garcia hanya satu dari total ratusan kekerasan yang terjadi di Ekuador dalam beberapa bulan terakhir. Di Januari lalu, terjadi setidaknya 391 kasus kematian akibat kekerasan. Tahun lalu, Ekuador menjadi saksi kekerasan paling parah sepanjang sejarahnya, yaitu total 7.872 kasus pembunuhan. Ini berarti setidaknya 43,2 kematian per 100.000 penduduk.

Baca juga: Wali Kota Termuda di Ekuador Tewas Ditembak di Tengah Situasi Darurat Antigeng 

Kekerasan di Ekuador mencapai puncaknya ketika ketua geng kriminal Los Choneros, Adolfo “Fito” Machias kabur dari penjara. Keluarnya Fito dari penjara kemudian mengarah pada semakin meningkatnya kekerasan di Ekuador.

Sebagai respon, Presiden Daniel Noboa memberlakukan keadaan darurat dan menyatakan negaranya dalam “keadaan perang” melawan geng.

Pada bulan yang sama, Noboa juga mengeluarkan perintah untuk "menetralkan" geng kriminal pasca insiden penyerbuan dan penembakan di sebuah studio TV di mana para bandit mengancam akan mengeksekusi warga sipil dan pasukan keamanan secara acak.

Sejak saat itu, militer telah dikerahkan di jalan-jalan dan mengambil kendali atas penjara-penjara di negara tersebut.

Paulina Guaman, warga di kota Cuenca yang sekaligus seorang dokter gigi mengatakan kepada Al Jazeera bahwa kehidupannya di Ekuador berubah total semenjak eskalasi konflik.

“Hidup telah berubah total. Saya merasa takut tinggal di Ekuador,” kata Guaman. “Saya tidak lagi menjawab telepon dengan percaya diri seperti sebelumnya. Bisnis tidak terbuka seperti dulu. (Saya takut) tidak dapat terus bekerja karena seseorang mungkin datang memeras saya.”

Dahulu sempat dipandang sebagai “pulau kedamaian” di Amerika Latin, kini Ekuador justru menjadi negara yang berbahaya. Apa sebetulnya yang mendorong meningkatnya kekerasan geng di Ekuador akhir-akhir ini?

Para tentara sedang berjaga di luar istana kepresidenan Ekuador di Quito, imbas dari gelombang aksi kekerasan di seluruh negeri.REUTERS/KAREN TORO via DW INDONESIA Para tentara sedang berjaga di luar istana kepresidenan Ekuador di Quito, imbas dari gelombang aksi kekerasan di seluruh negeri.
Perdagangan Kokain Global

Meningkatnya perdagangan kokain global menjadi salah satu faktor utama dalam eskalasi konflik geng di Ekuador.

Dalam World Drug Report terbaru dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dijelaskan adanya lonjakan pasokan dan permintaan kokain yang berkepanjangan. Tahun 2021, diperkirakan 22 juta orang mengonsumsi kokain dan produksinya dapat mencapai sekitar 2.304 ton.

Para ahli berpendapat bahwa Ekuador menjadi salah satu negara paling dominan dalam ekspor kokain. Terlebih lagi negara ini juga berada di antara Peru dan Kolombia, dua negara produsen kokain terbesar di dunia.

Baca juga: Belajar dari Ekuador, Negara Jajahan Baru Kartel Narkoba

“Ekuador adalah negara kecil dengan lingkungan yang penuh kekerasan, dan negara ini menjadi bagian penting dari jaringan perdagangan narkotika global,” kata Will Freeman, peneliti Amerika Latin di Council on Foreign Relations yang berbasis di AS.

Ketika Ekuador unggul dalam perdagangan kokain, demikian juga kriminalitas di negara tersebut ikut meningkat. Hal ini kemudian memikat kekuatan-kekuatan baru di Ekuador, termasuk kartel-kartel dari Meksiko dan geng-geng kriminal dari Balkan.

Dampak Perjanjian Perdamaian di Kolombia

Sudah beberapa dekade lamanya Kolombia terjebak dalam konflik internal akibat perebutan kekuasaan antara pasukan pemerintah, kelompok paramiliter sayap kanan, jaringan kriminal, dan pemberontak sayap kiri.

Tahun 2016, kelompok sayap kiri terbesar di Kolombia, Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) menyetujui perjanjian perdamaian untuk membubarkan angkatan bersenjatanya, dengan syarat konsesi seperti pembangunan pedesaan dan program jaminan sosial.

Saat ribuan anggota FARC menurunkan senjata, terjadilah kekosongan kekuasaan. Bubarnya FARC justru membuka peluang baru bagi kelompok lain untuk mengambil alih jalur penyelundupan narkoba yang lebih menguntungkan, khususnya di sepanjang perbatasan.

Ketika geng dan kelompok bersenjata lainnya memperebutkan kekuasaan, konflik akhirnya pecah di Kolombia dan kemudian menyebar ke negara tetangganya, Ekuador. Beberapa anggota FARC yang tidak setuju dan kecewa dengan perjanjian perdamaian bahkan memindahkan operasi mereka ke Ekuador.

Korupsi Sistemik

Hukuman penjara tidak menghentikan operasi geng kriminal di Ekuador. Tahun 2022, kepala lembaga penjara SNAI memperkirakan bahwa 11.000 dari 32.000 orang yang dipenjara adalah anggota geng.

Ahli dari PBB juga melaporkan bahwa beberapa bagian dari penjara di Ekuador “dikelola sendiri oleh para tahanan yang merupakan anggota organisasi kriminal.”

Para ahli kemudian berpendapat, korupsi sistemik yang ada turut memperkuat kondisi tersebut. Hal ini menyebabkan geng-geng kriminal di Ekuador masih mampu beroperasi tanpa hambatan.

“Telah terbukti bahwa semua struktur politik dan peradilan di negara ini korup. Kita benar-benar dapat melihat bahwa kejahatan terorganisir mempunyai pengaruh besar dalam sistem peradilan,” kata Domenica Avila-Luna, ekonom Ekuador dan analis politik di King’s College London.

Geng-geng tersebut juga telah mengambil langkah-langkah ekstrem untuk menghalangi upaya penegakkan keadilan. Pada bulan Januari contohnya, seorang jaksa yang sedang dalam upaya penyelidikan atas penyerbuan dan penyerangan di stasiun TV tewas tertembak di Guayaquil.

Jaksa Agung Diana Salazar mengatakan bahwa dia yakin kekerasan terorganisir adalah penyebab pembunuhan tersebut.

Melemahnya Sistem Peradilan

Para ahli berpendapat, meningkatnya kekerasan geng di Ekuador juga didorong dari pemerintahan tingkat tinggi dari negara itu sendiri. Beberapa presiden yang pernah memimpin Ekuador dikatakan telah berkontribusi dalam melemahnya sistem peradilan.

Mantan Presiden Rafael Correa misalnya yang dituduh oleh Human Rights Watch telah menekan hakim dan mencampuri hasil dari suatu kasus. Correa akhirnya dihukum karena kasus korupsi.

Penerusnya, Lenin Moreno, berjanji akan mengambil pendekatan berbeda terhadap sistem peradilan. “Saya tidak akan pernah memanggil hakim untuk mempengaruhi mereka,” kata Moreno saat pelantikannya pada tahun 2017.

Namun, Moreno justru memutuskan untuk menghilangkan Kementerian Kehakiman Ekuador pada tahun 2018 dan menggantinya dengan lembaga lain yaitu SNAI yang berjuang untuk mengendalikan penjara di negara tersebut.

Pada periode berikutnya, para pejabat di di bawah pemerintahan Presiden Guillermo Lasso menyalahkan meningkatnya kekerasan di Ekuador sebagian karena keputusan Moreno.

Namun, Freeman mengatakan meningkatnya kekerasan di Ekuador merupakan hasil dari pilihan kebijakan di bawah ketiga presiden tersebut.

“Ini adalah kombinasi dari institusi yang lemah dan terkooptasi, namun juga merupakan masalah prioritas,” jelas Freeman. Freeman berargumen para presiden tersebut lebih fokus pada tujuan politik lain, mengabaikan masalah keamanan.

“Correa mengutamakan model pembangunan ekstraktif, pengentasan kemiskinan dan mendapatkan investasi dari China. Moreno harus menghadapi Covid-19 dan protes nasional yang menjadi penuh kekerasan. Dan Lasso memprioritaskan reformasi ekonomi.”

Pandemi Covid-19

Ekuador merupakan negara dengan salah satu tingkat kematian tertinggi akibat Covid-19 di Amerika Latin dengan total 36.014 kasus kematian yang dilaporkan.

Ekonomi Ekuador yang sudah lemah juga semakin terpuruk akibat pandemi ini. Pasar negara tersebut melemah akibat turunnya harga minyak, padahal ekspor negara tersebut banyak bergantung pada minyak. Ekuador juga mengalami penurunan produk domestik bruto (PDB) sebesar 7,5 persen di tahun 2020 akibat tutupnya sejumlah bisnis.

Ekonomi melemah, angka pengangguran pun melonjak. Para ahli berpendapat jaringan kriminal memanfaatkan kondisi ini untuk memperluas keanggotaannya.

“Dengan adanya pandemi ini dan pemerintahan buruk yang kita alami dalam beberapa tahun terakhir, institusi dan negara secara keseluruhan telah melemah,” kata Avila-Luna.

“Ada banyak kemiskinan – dan jumlah ini meningkat cukup banyak selama pandemi. Ada juga masalah dalam hal ketenagakerjaan. Jadi organisasi kriminal menemukan, di penjara dan di jalanan, tempat-tempat rekrutmen untuk organisasi mereka.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com