Kasus-kasus pengungsi Rohingya yang kabur di Aceh menguatkan pernyataan ini. Pengungsi Rohingya yang berada di Malaysia mengatakan kepada BBC, bahwa ia ‘berani membayar Rp 20 juta’ untuk mengirim saudara dari Aceh ke Malaysia.
Secara umum, komunitas Rohingya di Malaysia juga lebih banyak dan mereka bisa bekerja walaupun secara gelap.
Sementara itu, Pemerintah Malaysia menyatakan tidak lagi menerima pengungsi Rohingya dalam beberapa tahun terakhir, dan ditegaskan kembali pada 2020 lalu.
Di sisi lain, jumlah pengungsi internal Rohingya di Myanmar sejauh ini sebanyak 2 juta jiwa, dan yang kembali ke negara itu dari pengungsian negara lain sebanyak 89.402 jiwa.
Baca juga: Pengungsi Rohingya: Kami Hanya Ingin Tinggal di Indonesia, Tak Mau di Tempat Lain
Menurut perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Ann Mayman, ada dua faktor yang kemungkinan akan mendorong gelombang pengungsi ke Indonesia.
Pertama, konflik di Myanmar makin buruk.
“Semua orang berkonsentrasi pada apa yang terjadi di Timur Tengah (Gaza) dan Ukraina, sehingga intensifikasi konflik senjata di Myanmar adalah sesuatu yang hampir tidak diberitakan,” katanya.
Kedua, keamanan di kamp-kamp pengungsian Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh, semakin memburuk: penculikan, pemerasan, pembunuhan, penembakan, dan serangan.
“Para pengungsi tidak cukup terlindungi di Cox's Bazar. Ada peningkatan dalam insiden-insiden tersebut, sehingga mereka khawatir. Mereka takut. Itulah mengapa kami melihat peningkatan,” jelas Ann Mayman.
Gelombang pengungsi Rohingya terus berdatangan ke Aceh, dan mendapat penolakan sebagian warga di sejumlah wilayah.
Azwani (65) mengaku sebagai perwakilan warga di Kabupaten Pidie, mengklaim warga menolak karena keberadaan pengungsi Rohingya melanggar “norma-norma yang telah disepakati”.
“Kedua, masuk mereka ke sini, tanpa konfirmasi dengan pihak setempat. Jangan kan dengan kami desa, dengan Mustika (aparatur desa) pun tidak pernah dibicarakan. Oleh karenanya, kami tidak dianggap pemerintah di (kecamatan) Padang Tiji ini, sehingga kami menolak,” kata Azwani.
Kepala Desa Lapang Barat di Kabupaten Bireuen, Mukhtar Yusuf, menolak pengungsi dengan alasan tidak ada tempat yang mendukung para pengungsi di wilayahnya.
”Bukan masalah logistik, tapi masalah tempat. Ini kan tempat orang-orang nelayan aktivitas, saya rasa mengganggu,“ ujarnya.