Secara de facto, mayoritas Rohingya hidup di negara bagian termiskin Myanmar, yaitu Rakhine.
Dari sisi historis, keberadaan Rohingya tidak disukai oleh mayoritas penduduk di Rakhine yang didominasi agama Buddha.
Rohingya dipandang sebagai pemeluk Islam dari negara lain. Kebencian terhadap Rohingya dari mayoritas penduduk di Rakhine ini meluas di Myanmar.
Sejak mereka tidak punya kewarganegaraan, tapi masih tetap tinggal di Myanmar.
UNHCR menyebut hidup dan kehidupan mereka selama puluhan tahun mengalami kekerasan, diskriminasi, dan persekusi di Myanmar.
Orang Rohingya perlahan-lahan mulai meninggalkan Myanmar pada 1990-an.
Tapi puncaknya terjadi pada 2017, saat gelombang kekerasan besar-besaran di Negara Bagian Rakhine memaksa lebih 742.000 orang--setengahnya anak-anak--mencari perlindungan di Bangladesh.
Seluruh desa dibakar, ribuan keluarga dibunuh atau terpisah, dan pelanggaran hak asasi manusia membanjiri laporan-laporan lembaga kemanusiaan.
"Lebih baik mereka membunuh kami daripada mendeportasi kami ke Myanmar," kata seorang etnis Rohingya di kamp pengungsian Cox’s Bazar, Bangladesh kepada BBC--lima tahun setelah eksodus.
Laporan UNHCR per 31 Oktober 2023 menunjukkan 1.296.525 pengungsi Rohingya yang mencari perlindungan tersebar ke sejumlah negara.
Bangladesh menjadi negara paling banyak menampung, yaitu 967.842 orang. Diikuti dengan Malaysia (157.731), Thailand (91.339), India (78.731) dan terakhir Indonesia (882).
Meskipun jumlah yang masuk ke Aceh, Indonesia sedikit, tapi dalam satu pekan terakhir gelombang pengungsi Rohingya mengalami peningkatan lebih dari 100 persen dengan jumlah sekitar 1.000 orang.
Direktur Arakan Project, lembaga advokasi HAM Rohingya, Chris Lewa menilai “Indonesia bukanlah negara tujuan” bagi pengungsi Rohingya dalam mencari perlindungan.