SITTWE, KOMPAS.com - Amerika Serikat pada Senin (21/3/2022) secara resmi menyatakan, kekerasan militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya yang menyebabkan lebih dari 700.000 orang melarikan diri merupakan tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ini adalah babak terbaru dalam sejarah panjang dan penuh gejolak kelompok Rohingya, populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia.
Sekitar satu juta orang Rohingya tinggal di negara bagian Rakhine, barat Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Banyak di antara mereka yang jadi korban tindakan keras militer Myanmar tahun 2017.
Baca juga: AS Tetapkan Militer Myanmar Lakukan Genosida terhadap Muslim Rohingya
Lalu, siapa Rohingya dan bagaimana sejarahnya di Myanmar?
Menurut beberapa catatan yang dikutip AFP, Rohingya adalah keturunan pedagang dan tentara Arab, Turki, atau Mongol yang pada abad ke-15 bermigrasi ke negara bagian Rakhine yang sebelumnya disebut Kerajaan Arakan.
Sejarawan lain mengatakan, Rohingya bermigrasi dari Banglades dalam beberapa gelombang. Teori satu ini yang dipercaya banyak orang di Myanmar.
Selama berabad-abad minoritas Muslim kecil hidup damai bersama umat Buddha di kerajaan independen, dengan beberapa di antaranya bahkan menjadi penasihat bangsawan Buddha, menurut sejarawan.
Pergolakan terjadi mulai akhir abad ke-18 ketika kerajaan itu ditaklukkan Burma dan kemudian oleh Inggris.
Sebagai bagian dari kebijakan membagi-dan-memerintah mereka, Inggris lebih menyukai orang Muslim, merekrutnya sebagai tentara selama Perang Dunia II dan mengadu mereka dengan umat Buddha yang bersekutu dengan Jepang saat konflik berkecamuk di tanah Burma.
Status mereka diperkuat pada 1947 ketika konstitusi baru dirancang, yang memberi mereka hak hukum dan suara penuh, tetapi itu hanya berlangsung singkat.
Baca juga: Rohingya Sambut Baik AS Tetapkan Militer Myanmar Lakukan Genosida, tapi...
Sebagian besar etnis Rohingya tinggal di Rakhine, tetapi ditolak kewarganegaraannya dan ditindas oleh pembatasan gerak dan pekerjaan.
Ratusan ribu orang Rohingya kemudian melarikan diri ke Banglades dalam gelombang kekerasan berturut-turut pada 1978 dan 1991-1992.
Oleh karena menggunakan dialek yang mirip dengan Chittagong di Banglades tenggara, Rohingya dibenci banyak orang di Myanmar yang melihat mereka sebagai imigran ilegal dan menyebutnya "Bengali".
Setelah junta dibubarkan pada 2011, di Myanmar terjadi peningkatan ekstremisme Buddhis yang semakin mengucilkan Rohingya dan menandai dimulainya era ketegangan terbaru.
Baca juga: 5.000 Orang Kehilangan Rumah Setelah Kamp Pengungsi Rohingya Kembali Terbakar
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.