Pada 336 SM, saudara perempuan Alexander menikah dengan raja Molossia, seorang paman yang juga dipanggil Alexander. Selama festival pernikahan itu, Raja Philip II dibunuh di tangan Pausanias, seorang bangsawan Makedonia.
Setelah kematian ayahnya, Alexander, yang saat itu berusia 19 tahun, bertekad untuk merebut takhta dengan cara apa pun yang diperlukan. Dia dengan cepat mengumpulkan dukungan dari tentara Makedonia, termasuk jenderal dan pasukan yang pernah dia lawan di Chaeronea.
Para tentara kemudian memproklamirkan Alexander sebagai raja feodal dan melanjutkan untuk membantunya membunuh calon pewaris takhta lainnya.
Sementara ibunya yang setia, Ratu Olympia, berusaha untuk memastikan kemenangan putranya dengan putri Raja Philip II bersama Cleopatra, dan mendorong ia untuk bunuh diri.
Meskipun Alexander adalah raja feodal Makedonia, tetapi tidak serta-merta dia mendapatkan kontrol otomatis dari Liga Korintus.
Negara bagian selatan Yunani merayakan kematian Philip II dan menyatakan kepentingan yang terbagi. Sementara Athena, memiliki agendanya sendiri, yaitu untuk mengambilalih liga di bawah kepemimpinan Demosthenes.
Saat mereka meluncurkan gerakan kemerdekaan, Alexander Agung mengirim pasukannya ke selatan dan memaksa wilayah Thessaly untuk mengakui dia sebagai pemimpin Liga Korintus.
Kemudian selama pertemuan anggota liga di Thermopylae, Alexander memperoleh penerimaan mereka atas kepemimpinannya.
Pada musim gugur 336 SM, dia menerbitkan kembali perjanjian dengan negara kota Yunani yang tergabung dalam Liga Korintus, yang mana ia diberikan kekuatan militer penuh dalam kampanye melawan Kekaisaran Persia. Namun, pada saat itu Athena masih menolak keanggotaan.
Namun, sebelum mempersiapkan perang dengan Persia, Raja Makedonia ini pertama-tama menaklukkan Tribalia Thrakia pada 335 SM, mengamankan perbatasan utara Makedonia.
Sebelum mempersiapkan perang dengan Persia, Alexander pertama-tama menaklukkan Tribalia Thrakia pada 335 SM, mengamankan perbatasan utara Makedonia.
Baca juga: Profil Pemimpin Dunia: Uhuru Kenyatta, Presiden Kenya
Saat Alexander mendekati akhir kampanyenya di utara, dia mendapat kabar bahwa Thebes, sebuah negara kota Yunani, memaksa keluar dari pasukan Makedonia yang ditempatkan di sana.
Khawatir akan terjadi pemberontakan di antara negara-kota lainnya, Alexander segera menggiring pasukan besar, terdiri dari 3.000 kavaleri dan 30.000 infanteri ke selatan sampai ke ujung semenanjung Yunani.
Sementara itu, jenderal Alexander Agung, Parmenion, sudah pergi ke Asia Kecil.
Alexander dan pasukannya tiba di Thebes begitu cepat, sehingga negara kota tidak memiliki kesempatan untuk mengumpulkan sekutu untuk pertahanannya. Tiga hari setelah kedatangannya, Alexander memimpin pembantaian Thebes.
Tujuan Raja Makedonia ini menghancurkan Thebes adalah untuk menjadi pesan peringatan bagi negara-kota yang berniat untuk memberontak.
Taktik intimidasi Alexander terbukti efektif, negara-kota Yunani lainnya, termasuk Athena, memilih untuk bersekutu dengan Kekaisaran Makedonia atau memilih untuk tetap netral.
Pada 334 SM, Alexander memulai ekspedisi Asiatiknya, tiba di Troy pada musim semi itu. Alexander kemudian menghadapi pasukan Raja Persia Darius III di dekat Sungai Grancius dan dengan cepat mereka dikalahkan.
Pada musim gugur, Alexander Agung dan pasukannya telah berhasil melintasi pantai selatan Asia Kecil menuju Gordium, di mana mereka beristirahat pada musim dingin.
Pada musim panas 333 SM, pasukan Alexander dan Darius sekali lagi terlibat berperang di Issus. Meskipun tentara Alexander kalah jumlah, sang raja Mekodonia menggunakan kemampuan strategi militer untuk menciptakan formasi yang mengalahkan Persia lagi dan menyebabkan Darius melarikan diri.
Pada November 333 SM, Raja Makedonia ini menyatakan dirinya juga sebagai Raja Persia setelah menangkap Darius dan menjadikannya buronan.