Akan tetapi pada malam 15 Juli 2016, kerusuhan memuncak dalam bentuk upaya kudeta militer. Erdogan yang sedang berlibur bersama keluarganya nyaris tertimpa masalah saat hotelnya digerebek.
Dalam bahaya, dia menggunakan aplikasi obrolan video FaceTime untuk memohon kepada orang-orang sebangsanya melawan unit militer yang membangkang.
Dengan dukungan pejabat kunci pemerintah dan tokoh berpengaruh, kudeta kemudian berhasil digagalkan dalam beberapa jam. Namun lebih dari 400 kematian dan 1.400 orang lainnya terluka.
Baca juga: VIDEO: Kebakaran Hutan Turki Merambat ke Kota, Ada 53 Titik Api, 3 Orang Tewas
Erdogan menyalahkan pemberontakan pada pengikut Fethullah Gulen, seorang ulama Turki yang tinggal di pengasingan di Amerika Serikat, dan menuntut agar ulama itu di ekstradisi.
Setelah insiden itu, pemerintah Turki memenjarakan ribuan personel militer, puluhan ribu polisi, hakim. Pegawai negeri dan guru juga ditangguhkan, ditahan, atau diselidiki.
Keadaan darurat nasional kemudian dideklarasikan. Langkah ini diyakini digunakan untuk menggulingkan musuh-musuhnya yang terkenal, sehingga melenggangkannya mengklaim lebih banyak kekuatan.
Kekhawatiran itu dikuatkan dengan disahkannya referendum konstitusional pada April 2017.
Aturan baru itu menghilangkan jabatan perdana menteri dan memberi presiden Turki kekuasaan eksekutif baru, termasuk kemampuan untuk menunjuk hakim dan pejabat.
Baca juga: Sejumlah Fakta tentang Pembunuhan Massal Orang Armenia di Turki 1915
Setelah Erdogan menyerukan pemilihan awal pada 2018, partai-partai oposisi melakukan perlawanan penuh semangat dalam upaya untuk menghentikan konsolidasi kekuasaannya.
Namun, petahana memperoleh 53 persen suara yang dilaporkan dalam pemilihan 24 Juni, dan cukup untuk menghindari putaran kedua dengan runner-up, Muharrem Ince.
Sementara AKP-nya memperoleh kurang dari 50 persen suara parlemen, beraliansi dengan Partai Gerakan Nasionalis hingga memastikan koalisi mayoritas di sana.
"Sepertinya bangsa telah mempercayakan saya dengan tugas kepresidenan, dan kepada kami tanggung jawab yang sangat besar di legislatif," katanya saat itu hasil pemilihan mengarah ke kemenangannya.
"Turki telah memberikan pelajaran demokrasi dengan jumlah pemilih yang mendekati 90 persen. Saya berharap beberapa orang tidak akan memprovokasi untuk menyembunyikan kegagalan mereka sendiri."
Baca juga: 5 Tahun Kudeta Gagal Turki, Sejumlah Warga Masih Merasakan Duka
Di antara langkah pertama yang diambil Erdogan dalam masa jabatan keduanya adalah pembentukan tanggapan terhadap tarif Presiden AS Donald Trump atas impor baja dan aluminium Turki.
Pada Agustus 2018, Turki mengumumkan tarifnya sendiri atas serangkaian barang AS, mencakup mobil dan alkohol. Erdogan dalam pidatonya ketika itu bahkan menyerukan boikot produk elektronik Amerika.
Menanggapi ancaman sanksi Trump, Erdogan mengatakan: "Mereka menekan kami untuk menghentikan operasi. Mereka mengumumkan sanksi. Tujuan kami jelas. Kami tidak khawatir tentang sanksi apa pun."
Berbeda dengan masa awalnya yang gemilang, di bawah kepemimpinan Erdogan ekonomi Turki memburuk dalam beberapa tahun terakhir.
Lira Turki merosot terhadap dollar, sementara inflasi hampir 12 persen. Pandemi Covid-19 Turki juga memperburuk kesengsaraan ekonomi masyarakatnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.