Langkah pertama, meningkatkan status administrasi perwakilan pemerintahan mereka di sebuah pulau kecil, Pulau Woody (China menyebutnya Pulau Yongxing).
Pulau seluas sekitar 13 kilometer persegi itu berada di Kepulauan Paracel, yang dipersengketakan oleh China, Taiwan, dan Vietnam.
Di pulau itu tadinya hanya ada pemerintahan setingkat kabupaten. Beijing lalu meningkatkan statusnya menjadi sebuah kota administratif (prefektur) bernama Sansha.
Selain peningkatan status, Sansha juga dibebani kewenangan dan tanggung jawab lebih besar dalam mewakili keberadaan dan kepentingan Beijing di Laut China Selatan.
Hal itu termasuk mengelola dan mengatur seluruh kawasan Laut China Selatan, yang hampir seluruhnya diklaim sebagai bagian dari wilayah kedaulatan China. Selain didominasi laut, kawasan seluas 2 juta kilometer persegi, yang diklaim China, itu juga terdiri dari sejumlah kepulauan, gugusan karang, dan beting.
Ada dua kepulauan utama di Laut China Selatan, yaitu Kepulauan Paracel (oleh China disebut Xisha) dan Kepulauan Spratly (Nansha).
Keduanya dipersengketakan terutama dengan Taiwan serta empat negara anggota ASEAN, yakni Malaysia, Brunei, Filipina, dan Vietnam.
Jika di Kepulauan Paracel hanya tiga negara yang berebut klaim, di Kepulauan Spratly, enam negara itu mengklaimnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Klaim China didasari keyakinan kalau Laut China Selatan sudah menjadi tempat warganya mencari ikan sejak zaman dulu, bahkan sejak zaman Dinasti Han (202 SM-220 M).