Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saling Klaim di Perairan Kaya Sumber Daya Alam

Kompas.com - 29/07/2012, 03:08 WIB

Beberapa waktu belakangan China semakin serius menegaskan klaim teritorialnya di Laut China Selatan. Dalam waktu berdekatan, pemerintah ”Negeri Tirai Bambu” itu mengambil dua langkah strategis yang diyakini bertujuan memperkuat kehadiran dan pengaruhnya di sana. WISNU DEWABRATA

Langkah pertama, meningkatkan status administrasi perwakilan pemerintahan mereka di sebuah pulau kecil, Pulau Woody (China menyebutnya Pulau Yongxing).

Pulau seluas sekitar 13 kilometer persegi itu berada di Kepulauan Paracel, yang dipersengketakan oleh China, Taiwan, dan Vietnam.

Di pulau itu tadinya hanya ada pemerintahan setingkat kabupaten. Beijing lalu meningkatkan statusnya menjadi sebuah kota administratif (prefektur) bernama Sansha.

Selain peningkatan status, Sansha juga dibebani kewenangan dan tanggung jawab lebih besar dalam mewakili keberadaan dan kepentingan Beijing di Laut China Selatan.

Hal itu termasuk mengelola dan mengatur seluruh kawasan Laut China Selatan, yang hampir seluruhnya diklaim sebagai bagian dari wilayah kedaulatan China. Selain didominasi laut, kawasan seluas 2 juta kilometer persegi, yang diklaim China, itu juga terdiri dari sejumlah kepulauan, gugusan karang, dan beting.

Ada dua kepulauan utama di Laut China Selatan, yaitu Kepulauan Paracel (oleh China disebut Xisha) dan Kepulauan Spratly (Nansha).

Keduanya dipersengketakan terutama dengan Taiwan serta empat negara anggota ASEAN, yakni Malaysia, Brunei, Filipina, dan Vietnam.

Jika di Kepulauan Paracel hanya tiga negara yang berebut klaim, di Kepulauan Spratly, enam negara itu mengklaimnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian.

Klaim China didasari keyakinan kalau Laut China Selatan sudah menjadi tempat warganya mencari ikan sejak zaman dulu, bahkan sejak zaman Dinasti Han (202 SM-220 M).

Markas garnisun

Selain meningkatkan status Sansha, Beijing juga membangun markas komando garnisun dan menempatkan personel militernya di Pulau Yongxing tersebut.

Kebijakan itu disebut-sebut langsung diputuskan oleh Komisi Militer Pusat China, yang juga mewakili suara angkatan bersenjata China, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).

Dari segi kekuatan pertahanan, keberadaan garnisun baru China itu memang tak terlalu signifikan. Dalam arti, kekuatan garnisun itu tak akan menjadi ancaman militer terhadap negara-negara pengklaim lainnya, terutama Vietnam, yang paling dekat dengan Yongxing.

Namun, kehadiran markas garnisun tadi tetap bisa diartikan sebagai upaya China memperkuat klaim dan keberadaannya di wilayah itu.

Selain itu, muncul pula analisis lain yang menyebut munculnya kebijakan tadi menunjukkan terjadinya penguatan pengaruh militer dalam proses pengambilan keputusan dalam pemerintah China, terutama dalam isu Laut China Selatan.

Boleh jadi kondisi itu dipicu semakin kerasnya ”perlawanan” yang ditunjukkan negara pengklaim, seperti Filipina dan Vietnam, atas klaim ”Sembilan Garis Putus-putus” China.

Hal itu tampak dalam beberapa kali insiden, terakhir dengan Filipina di kawasan Beting Scarborough, yang juga bagian dari Laut China Selatan.

Kerumitan masalah di Laut China Selatan juga semakin bertambah ketika Amerika Serikat secara terang-terangan melibatkan diri dalam persoalan itu.

Walau menegaskan tidak punya klaim di wilayah itu, AS berargumen pihaknya hanya ingin memastikan kalau di perairan itu tetap ada jaminan kebebasan bernavigasi.

Meski demikian, AS dalam banyak kesempatan juga memberi dukungan terang-terangan kepada Vietnam dan Filipina.

Kepada mereka, AS menyatakan komitmennya untuk memperkuat dan meningkatkan kemampuan militer kedua negara, terutama kekuatan angkatan laut mereka.

Perairan strategis

Laut China Selatan memang terlalu berharga sehingga layak untuk dipertahankan dan bahkan diperebutkan dengan segenap kekuatan dan kemampuan.

Mengutip situs Beijing Review, data Kementerian Daratan dan Sumber Daya China menyebutkan, di wilayah itu terdapat kandungan cadangan minyak dan gas bumi yang sangat besar.

Diprediksi, dasar Laut China Selatan menyimpan cadangan 55 miliar ton minyak bumi dan 20 triliun meter kubik gas bumi.

Sementara itu, pihak Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi Hainan menyebut, potensi tangkapan ikan berkelanjutan di sana bisa mencapai maksimal 2 juta ton.

Selain kandungan kekayaan alam tadi, Laut China Selatan juga lama dikenal sebagai salah satu jalur perdagangan laut paling strategis di dunia.

Laut itu menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, yang berarti juga menghubungkan jalur transportasi dan perdagangan antarkawasan, dari Eropa, Timur Tengah, dengan Asia Timur.

Konflik bersenjata

Direktur Program Asia Lembaga Pemikir Internasional di International Crisis Groups (ICG) Paul Quinn-Judge, pekan lalu, menyampaikan kekhawatirannya terkait kemungkinan perkembangan eskalasi ketegangan di perairan itu.

Dia menyebut, kemungkinan ketegangan memuncak menjadi konflik bersenjata sangat besar.

Apalagi, jika negara-negara ASEAN gagal menyelesaikan rencana menyusun kode tata berperilaku (code of conduct/COC) di Laut China Selatan, yang nantinya akan dibahas dan disepakati bersama China.

Kekhawatiran itu masuk akal mengingat dalam pertemuan tahunan antarmenteri luar negeri ASEAN (AMM) di Kamboja beberapa waktu lalu sempat terjadi kebuntuan di antara negara-negara anggota organisasi itu.

ASEAN bahkan sempat terkesan terpecah setelah kebuntuan yang terjadi dan berujung pada gagalnya penyusunan komunike bersama para menteri luar negeri itu. Kejadian ini disebut-sebut terjadi untuk pertama kalinya dalam sejarah ASEAN.

Kegagalan terutama terjadi ketika tuan rumah Kamboja menolak memasukkan insiden Beting Scarborough antara Filipina dan China yang terjadi tak berselang lama sebelum digelarnya AMM ke-45 itu dalam komunike bersama.

Filipina menuduh penolakan Kamboja dilatari pengaruh dari sekutu dekatnya, China.

Setelah kejadian itu, Indonesia berinisiatif melakukan sejumlah pendekatan untuk mengingatkan kembali enam komitmen kunci ASEAN terkait isu Laut China Selatan yang salah satunya berisi komitmen menuntaskan penyusunan COC.

”Tanpa ada konsensus soal mekanisme resolusi, ketegangan di Laut China Selatan dapat dengan mudah berkembang menjadi konflik bersenjata,” ujar Paul mewanti-wanti.

Sejarah mencatat, konflik bersenjata di Laut China Selatan memang pernah terjadi. (AP/REUTERS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com