Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rusia Bela WikiLeaks

Kompas.com - 11/12/2010, 04:36 WIB

”Ayolah Julia, hukum mana yang sudah dilanggar Assange?” demikian bunyi salah satu poster pemrotes.

Demonstrasi mendukung Assange makin menguat di seluruh Australia setelah kelompok aktivis GetUp! menyatakan telah mengumpulkan 50.000 tanda tangan untuk sebuah petisi mendukung kebebasan informasi. Kelompok tersebut juga berhasil mengumpulkan dana hingga 250.000 dollar AS (Rp 2,25 miliar) untuk memasang petisi tersebut di koran-koran AS.

”Terlepas dari pendapat tiap-tiap orang terhadap WikiLeaks atau Julian Assange, kami benar-benar berharap pemerintah tampil ke depan dan berkomitmen pada prinsip-prinsip dasar yang melandasi hidup kita selama ini, yakni jaminan peradilan yang adil dan praduga tak bersalah,” kata juru bicara GetUp!, Paul Mackay.

Ibu Assange, Christine Assange, yang tinggal di Queensland, Australia, mengaku tak percaya anaknya bersalah dalam tuduhan pemerkosaan dan pelecehan seksual. Dalam wawancara dengan Seven Networks Australia, Christine justru mengkhawatirkan keselamatan anaknya yang sedang melawan sebuah kekuatan raksasa. ”Kekuatan-kekuatan raksasa ini telah memutuskan untuk menghentikan dia (Julian) dan mereka tak akan bermain sesuai aturan,” ujar Christine.

Venezuela palsukan data

Dalam perkembangan terbaru bocoran kawat diplomatik yang terus dikeluarkan WikiLeaks, Kuba, Myanmar, Venezuela, dan Mesir mendapat giliran dibahas oleh para diplomat AS. Venezuela, misalnya, dianggap telah merekayasa data produksi dan memanipulasi harga minyak mentah.

Informasi tersebut diterima para diplomat AS di Caracas, Venezuela, dari para pejabat teras perusahaan minyak Venezuela PDVSA dan Kementerian Energi negara pimpinan Hugo Chavez itu. Sebagai gantinya, AS mempermudah pengurusan visa masuk AS kepada para pejabat tersebut.

Duta Besar AS di Kairo, Mesir, Margaret Scobey dalam kawat yang dikirim Mei 2009 mengatakan, Presiden Mesir Hosni Mubarak yang sudah berumur 82 tahun dan berkuasa sejak 1981 diduga kuat akan maju lagi dalam pemilihan presiden 2011 dan menjadi presiden sepanjang sisa hidupnya. Dikatakan, Mubarak tampaknya memilih mati saat menjabat ketimbang mundur.

AS juga penasaran dengan hubungan antara Myanmar dan Korea Utara, yang diduga berkaitan dengan ambisi Myanmar memiliki program pembuatan senjata nuklir. Dalam kawat tertanggal Januari 2004, diplomat AS di Yangon mendapat informasi dari seorang pengusaha asing yang mendengar isu bahwa sebuah reaktor nuklir sedang dibangun di dekat kota Mimbu. Namun, para diplomat AS mengakui belum mendapat informasi pasti.

Kuba akan ambruk

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com