Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rusia Bela WikiLeaks

Kompas.com - 11/12/2010, 04:36 WIB

MOSKWA, KAMIS - Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin dan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengeluarkan pernyataan membela pendiri WikiLeaks, Julian Assange, yang kini ditahan di Inggris dalam kasus pelecehan seksual.

Putin dan Lula mengatakan, penahanan Assange tidak demokratis dan merupakan serangan terhadap kebebasan berekspresi. Putin mengatakan, penahanan Assange merupakan bukti bahwa dunia Barat—yang selalu mengagung-agungkan demokrasi—ternyata bermasalah dalam menegakkan demokrasi itu sendiri. ”Mengapa Tuan Assange disembunyikan di penjara? Apakah itu demokratis? Ini seperti kata pepatah: maling teriak maling,” ungkap Putin, Kamis (9/12).

Sebelumnya, Putin marah terhadap isi kawat diplomatik AS yang menyebut Rusia sebagai ”negara mafia”. Putin menyebut isi kawat yang menyamakan Presiden Rusia Dmitry Medvedev sebagai Robin dan dia sebagai Batman (untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa di Rusia) adalah kesimpulan yang arogan, kasar, dan tidak etis.

Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dalam salah satu kawat bahkan menyebut Putin sebagai ”dalang di balik layar” mengenai peranannya yang lebih besar dibanding Medvedev. ”Sekarang saya ingin mengembalikan bola kepada kolega-kolega saya di Amerika,” kata Putin.

Pernyataan Putin ini mendukung pernyataan yang disampaikan rekannya dari Brasil, Presiden Lula da Silva, yang menyebut penahanan Assange di London sebagai serangan terhadap ”kebebasan menyatakan pendapat”.

Assange, menurut Lula, telah menguak sebuah proses diplomasi yang selama ini terkesan tak tersentuh. ”Mereka sudah menahan dia dan saya tidak mendengar banyak protes atas nama kebebasan menyatakan pendapat,” tutur Lula.

Di Geneva, Swiss, Ketua Komisi Tinggi PBB Urusan Hak Asasi Manusia Navi Pillay menyayangkan adanya usaha untuk menekan berbagai perusahaan swasta dan perusahaan kartu kredit untuk memutus hubungan komersial dengan WikiLeaks. ”Tindakan itu bisa diartikan sebagai usaha untuk menyensor publikasi informasi, yang berpotensi melanggar hak kebebasan berekspresi WikiLeaks,” tutur Pillay dalam jumpa pers resmi.

Dukungan menguat

Pernyataan Putin, Lula, dan Pillay makin menambah panjang daftar pendukung WikiLeaks dan Julian Assange. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Australia Kevin Rudd juga menyatakan akan memberikan bantuan konsuler dan mendampingi warga negara Australia itu selama menjalani proses pengadilan ekstradisi di Inggris. Rudd juga menyebut kebocoran kawat diplomatik rahasia itu adalah kesalahan sistem keamanan AS sendiri, bukan WikiLeaks.

Pendapat Rudd berbeda dengan Perdana Menteri Australia Julia Gillard, yang menuduh Assange telah melakukan tindakan ilegal dengan memuat bocoran kawat diplomatik AS tersebut di situs WikiLeaks. Ratusan warga Australia pendukung Assange, Jumat kemarin, berdemonstrasi di luar Balaikota Sydney, memprotes pernyataan Gillard.

”Ayolah Julia, hukum mana yang sudah dilanggar Assange?” demikian bunyi salah satu poster pemrotes.

Demonstrasi mendukung Assange makin menguat di seluruh Australia setelah kelompok aktivis GetUp! menyatakan telah mengumpulkan 50.000 tanda tangan untuk sebuah petisi mendukung kebebasan informasi. Kelompok tersebut juga berhasil mengumpulkan dana hingga 250.000 dollar AS (Rp 2,25 miliar) untuk memasang petisi tersebut di koran-koran AS.

”Terlepas dari pendapat tiap-tiap orang terhadap WikiLeaks atau Julian Assange, kami benar-benar berharap pemerintah tampil ke depan dan berkomitmen pada prinsip-prinsip dasar yang melandasi hidup kita selama ini, yakni jaminan peradilan yang adil dan praduga tak bersalah,” kata juru bicara GetUp!, Paul Mackay.

Ibu Assange, Christine Assange, yang tinggal di Queensland, Australia, mengaku tak percaya anaknya bersalah dalam tuduhan pemerkosaan dan pelecehan seksual. Dalam wawancara dengan Seven Networks Australia, Christine justru mengkhawatirkan keselamatan anaknya yang sedang melawan sebuah kekuatan raksasa. ”Kekuatan-kekuatan raksasa ini telah memutuskan untuk menghentikan dia (Julian) dan mereka tak akan bermain sesuai aturan,” ujar Christine.

Venezuela palsukan data

Dalam perkembangan terbaru bocoran kawat diplomatik yang terus dikeluarkan WikiLeaks, Kuba, Myanmar, Venezuela, dan Mesir mendapat giliran dibahas oleh para diplomat AS. Venezuela, misalnya, dianggap telah merekayasa data produksi dan memanipulasi harga minyak mentah.

Informasi tersebut diterima para diplomat AS di Caracas, Venezuela, dari para pejabat teras perusahaan minyak Venezuela PDVSA dan Kementerian Energi negara pimpinan Hugo Chavez itu. Sebagai gantinya, AS mempermudah pengurusan visa masuk AS kepada para pejabat tersebut.

Duta Besar AS di Kairo, Mesir, Margaret Scobey dalam kawat yang dikirim Mei 2009 mengatakan, Presiden Mesir Hosni Mubarak yang sudah berumur 82 tahun dan berkuasa sejak 1981 diduga kuat akan maju lagi dalam pemilihan presiden 2011 dan menjadi presiden sepanjang sisa hidupnya. Dikatakan, Mubarak tampaknya memilih mati saat menjabat ketimbang mundur.

AS juga penasaran dengan hubungan antara Myanmar dan Korea Utara, yang diduga berkaitan dengan ambisi Myanmar memiliki program pembuatan senjata nuklir. Dalam kawat tertanggal Januari 2004, diplomat AS di Yangon mendapat informasi dari seorang pengusaha asing yang mendengar isu bahwa sebuah reaktor nuklir sedang dibangun di dekat kota Mimbu. Namun, para diplomat AS mengakui belum mendapat informasi pasti.

Kuba akan ambruk

Sementara di Havana, para diplomat China, Spanyol, Kanada, Brasil, Italia, Jepang, dan Perancis, yang diundang sarapan bersama oleh Kepala Perwakilan AS di Kuba Jonathan Farrar, Februari lalu, berpendapat, ekonomi Kuba akan ambruk dalam dua atau tiga tahun ke depan.

Kawat yang ditulis pada bulan Februari 2010 itu meramalkan, kondisi perekonomian Kuba akan berubah menjadi ”fatal” dalam dua atau tiga tahun mendatang.

Kawat ini muncul sebelum Kuba mengumumkan reformasi ekonomi, dengan pengurangan peran badan usaha milik negara untuk digantikan pihak swasta. Beban keuangan negara yang besar tidak lagi bisa terus-menerus mendukung perusahaan milik negara yang tidak efisien.

Para diplomat beberapa negara lain, termasuk China, juga menilai bahwa Kuba telah terlambat melakukan reformasi ekonomi. (AFP/Reuters/DHF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com