GELOMBANG panas berkepanjangan berdampak buruk pada kesehatan manusia. Karena itu, penting sekali menjaga agar tubuh tidak terlalu banyak terpapar udara panas ekstrem ini agar tidak terkena sakit. Namun upaya membatasi kegiatan saat terjadi suhu panas memiliki dampak buruk juga, terutama pada anak-anak usia sekolah.
Di negara-negara berkembang, banyak anak yang tidak dapat pergi ke sekolah karena udara yang terlalu panas. Pada satu sisi, penting sekali menjamin agar setiap anak mendapatkan haknya untuk bersekolah. Di sisi lain, membiarkan anak-anak tersebut bersekolah di tengah situasi panas ekstrem juga dapat mengundang penyakit.
Membiarkan anak-anak untuk tetap bersekolah di situasi yang panas juga tidak dapat menjamin anak-anak tersebut dapat menyerap ilmu dengan baik. Sebuah studi tahun 2020 menemukan bahwa siswa sekolah menengah di Amerika Serikat (AS) mendapatkan nilai lebih buruk pada tes jika terpapar suhu yang lebih tinggi menjelang ujian.
Baca juga: Suhu Panas di Indonesia, Terjadi Sampai Kapan?
Dalam penelitian yang sama, ditemukan juga bahwa suhu yang lebih hangat 0,55 derajat Celsius dapat mengurangi keefektifan pembelajaran sebesar satu persen. Namun, sekolah yang memiliki AC tidak akan merasakan efek yang sama, kata Josh Goodman, salah satu peneliti dalam riset tersebut.
Sayangnya, tak semua sekolah mampu memfasilitasi ruangan sekolah dengan AC.
Tak heran, para ahli menyebut gelombang panas kali ini dapat memperburuk kesenjangan pendidikan, baik antara negara maju dengan negara berkembang, negara bersuhu panas dengan negara bersuhu dingin, hingga antara kelompok masyarakat kaya dengan kelompok masyarakat kurang mampu.
Di negara-negara berkembang di kawasan Asia, seperti Asia Tenggara dan Asia Selatan, dampaknya bahkan berkali-kali lipat lebih parah. Di Kamboja, suhu sempat menyentuh 38 derajat Celcius pada April lalu.
Sek Seila, siswi 11 tahun menjadi salah satu dari jutaan anak-anak lainnya di kawasan Asia yang harus merasakan dampak buruk suhu panas yang memecahkan rekor, mulai dari penutupan sekolah secara tiba-tiba, hingga pembatalan kelas atau kegiatan.
Baca juga: Berapa Suhu Tertinggi di Asia Selama Gelombang Panas Terjadi?
Seila berkata kepada CNN bahwa sangat sulit baginya untuk belajar di tengah suhu panas. Apalagi, ruang kelas Seila tidak memiliki AC, bahkan ventilasi kelasnya juga buruk.
“Ini sangat tidak menyenangkan dan tidak nyaman,” katanya. “Pada hari-hari tertentu, cuaca bisa menjadi sangat panas hingga kulit Anda terasa seperti terbakar.”
Di Filipina dan India, ribuan sekolah telah ditutup sejak akhir April. Penutupan ini berdampak pada lebih dari 10 juta siswa/siswi.
Pada bulan yang sama, sekolah-sekolah juga terpaksa ditutup di Banglades. Shumon Sengupta dari organisasi nirlaba, Save the Children mengatakan, kebanyakan sekolah di Banglades “tidak memiliki kipas angin, ventilasi yang tidak baik, dan… (tidak) menyediakan insulasi yang baik.”
Saat ini, anak-anak yang tidak bisa pergi ke sekolah mau tidak mau harus mengikut pembelajaran secara daring, sama seperti ketika pandemi Covid-19. Meski begitu, pembelajaran daring lagi-lagi juga punya dampak negatif, tak lain pada anak-anak kurang mampu di daerah pedesaan yang tidak mampu membeli alat elektronik untuk menunjang pendidikan daring.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan, negara berkembang saat ini berada di garis terdepan dalam krisis iklim, serta menanggung beban paling berat dari adanya cuaca ekstrem berkepanjangan, termasuk gelombang panas.
Di Filipina misalnya, perubahan iklim terus memperburuk tingkat kemiskinan dan keberlangsungan sekolah-sekolah di sana. Filipina pada dasarnya memang dinilai sebagai salah satu negara yang paling rentan di dunia terhadap perubahan iklim.