Kvindesland menjelaskan, langkah Mosaddegh saat itu tidak ditujukan untuk menyerang hubungan Iran dan Israel, melainkan Mossadegh pada dasarnya hanya ingin mengusir kekuasaan kolonial Inggris dari Iran serta melemahkan monarki.
Kvindesland mengatakan, dampaknya pada hubungan Israel dan Iran saat itu hanya merupakan “kerusakan tambahan”.
“Ada mobilisasi anti-Zionis di Iran. Ada ulama Syiah yang berpengaruh, Navvab Safavi, salah satu tokoh paling terkenal yang melakukan propaganda keras menentang Zionisme dan pendirian Israel. Namun bagi Mosaddegh, tujuan utamanya adalah mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab di sekitarnya untuk memerangi kendali Inggris atas industri minyak,” kata Kvindesland kepada Al Jazeera.
Baca juga: Skenario Konflik Iran dan Israel yang Bakal Pengaruhi Harga Minyak Dunia
Hubungan Israel dengan Iran kembali ke posisi semula ketika Mosaddegh digulingkan melalui kudeta yang diorganisir badan intelijen Inggris dan Amerika Serikat (AS) tahun 1953. Turunnya Mosaddegh sekaligus menandai kembalinya Syah kedua Pahlavi, sekutu setia Barat di wilayah tersebut yang juga dikenal dengan orang yang sangat pro-Barat di setiap kebijakan luar negerinya.
Tahun 1970-an, Israel mendirikan kedutaan de facto di Teheran dan keduanya mulai bertukar duta besar. Setelah itu, kedua negara mulai membangun hubungan perdagangan. Iran dengan segera menjadi pemasok minyak utama bagi Israel. Kedua negara tersebut juga membangun jaringan pipa yang bertujuan mengirim minyak Iran ke Israel dan ke Eropa.
Tidak hanya perdagangan, keduanya juga membangun hubungan baik di sektor militer dan keamanan walau sebagian besarnya dirahasiakan guna menghindari provokasi negara-negara Arab sekitarnya.
Kvindesland mengatakan, Syah Iran saat itu “tidak menunjukkan kepedulian terhadap Palestina dalam hubungannya dengan Israel tetapi lebih didorong oleh kebutuhan akan aliansi, keamanan, dan perdagangan.
Hubungan Israel-Iran kandas setelah Dinasti Pahlavi runtuh tahun 1979. Keruntuhan dinasti itu mendorong terbentuknya Republik Islam Iran.
Pemimpin revolusi Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini mengenalkan kepada Iran pandangan baru yang banyak berfokus pada perjuangan Islam dan upaya membela diri terhadap kekuatan-kekuatan “arogan” yang dapat menindas negara lain demi kepentingan diri sendiri. Dalam hal ini, Palestina turut menjadi bagian dari negara tertindas yang mereka bela.
Sejak saat itu, Israel mulai dikenal di Iran sebagai “Setan Kecil” yang berada di bawah “Setan Besar”, yaitu AS. Iran lalu menghapus semua hubungannya dengan Israel, salah satu upayanya yaitu mengubah kedutaan Israel di Teheran menjadi kedutaan Palestina.