Ada dua stasiun radio paling dominan di Rwanda, yaitu Radio-Television Libres des Milles Collines (RTML) dan Radio Rwanda yang dimiliki negara. Keduanya memainkan perang krusial dalam memperburuk kebencian terhadap suku Tutsi di Rwanda. Kedua stasiun radio tersebut aktif menyebarkan pesan-pesan yang meningkatkan ketakutan di kalangan Hutu terhadap RPF.
RTML contohnya, mereka sering mengeluarkan pernyataan yang merendahkan suku Tutsi dengan kata-kata seperti “orang-orang itu adalah kelompok kotor” di tengah-tengah pemutaran lagu. Mereka juga sering menggunakan istilah seperti “kecoak” dan “ular” saat mendeskripsikan suku Tutsi. RTML menjadi stasiun radio pertama yang mengorelasikan pembunuhan presiden kepada RPF.
Selama genosida, para penyerang berparade di jalan-jalan dengan parang di satu tangan dan radio di tangan yang lain. Stasiun radio yang mereka dengarkan adalah Radio Rwanda dan RLTM yang kala itu melalui siarannya mengumumkan nama-nama orang Tutsi dan pelindung-pelindung mereka agar para penyerang tahu di mana dapat menemukan mereka.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan 800.000 warga Rwanda tewas dalam genosida tersebut. Pemantau independen lain mengatakan jumlah korban hanya sekitar 500.000 orang.
Sampai saat ini, kuburan massal korban Genosida Rwanda masih kerap ditemukan di penjuru Rwanda. Itu sebabnya jumlah korban masih belum dapat dipastikan. Apa lagi, jumlah populasi Tutsi setelah genosida juga tidak dapat dipastikan dengan jelas karena banyak dari mereka mengaku Hutu demi menghindari pembunuhan. Pemerintah Rwanda pasca genosida juga menghapuskan identifikasi yang menunjukan etnis di dalam sensusnya.
Sensus tahun 1991 memperkirakan populasi Tutsi berjumlah 657.000, atau 8,4 persen dari total keseluruhan populasi Rwanda. Human Rights Watch memperkirakan setidaknya 500.000 orang Tutsi atau 77 persen dari populasi mereka pada tahun 1991 tewas terbunuh.
Di tahun 2005, pemerintah bersama dengan Prison Fellowship Rwanda, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), membangun enam desa rekonsiliasi di seluruh penjuru Rwanda. Pembentukan desa-desa ini diharapkan dapat membangun kembali kehidupan bersama mereka.
Desa-desa ini juga diharapkan dapat menciptakan kesetaraan antara kedua kelompok etnis serta mencegah orang melakukan balas dendam atas genosida tahun 1994 itu.