Meski begitu, pertumpahan darah masih terus berlangsung di Rwanda. Ketegangan dan kekerasan antara etnis Tutsi dan Hutu kembali terjadi secara berkala seperti pada tahun 1963, 1967, dan 1973. Ketegangan antara kedua suku tersebut kembali memanas tahun 1990 ketika kelompok pemberontak yang dipimpin Tutsi, Rwandan Patriotic Front (RPF) menyerbu dari Uganda.
Gencatan senjata dinegosiasikan pada awal tahun 1991. Setahun setelahnya, RPF dan pemerintahan Presiden Rwanda saat itu, Juvenal Habyarimana, memulai negosiasi yang kemudian menghasilkan sebuah perjanjian yang ditandatangani pada Agustus 1993 di Arusha, Tanzania. Perjanjian ini secara garis besar menyangkut pembentukan pemerintahan yang akan mencakup RPF.
Baca juga: Felicien Kabuga Tersangka Penghasut Genosida Rwanda Akan Dibebaskan
Ekstremis Hutu menentang perjanjian itu. Sebagai respon, mereka menyebarkan agenda anti-Tutsi melalui surat kabar dan stasiun radio yang berujung pada kekerasan etnis.
Pada 6 April 1994, pesawat yang membawa Presiden Habyarimana dan Presiden Burundi, Cyprien Ntaryamira, ditembak jatuh di Kigali. Semua yang ada di pesawat tersebut tewas.
Tidak pernah diklarifikasi siapa yang menembak jatuh pesawat tersebut. Walau begitu, media lokal menyalahkan RPF atas tragedi itu dan menginstruksikan agar suku Hutu segera mengambil tindakan. Insiden inilah yang menandai awal dari puncak ketegangan antara Tutsi dan Hutu, yang berujung pada aksi Genosida Rwanda.
Pembunuhan Dilakukan Secara Teratur dan Bertahap
Genosida Rwanda terjadi secara bertahap. Tragedi ini diawali oleh pembunuhan Perdana Menteri Agathe Uwilingiyimana yang merupakan seorang Hutu moderat. Uwilingiyimana dibunuh bersama 10 penjaga perdamaian Belgia yang ditugaskan untuk melindunginya di rumahnya pada 7 April 1994 hanya beberapa jam setelah media menyiarkan pembunuhan presiden dan mengorelasikannya dengan RPF.
Setelah itu, pasukan pemerintah bersama dengan kelompok milisi Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe (memiliki arti “mereka yang menyerang bersama”) mulai memasang penghalang jalan dan barikade di Kigali lalu menyerang orang-orang Tutsi dan Hutu moderat.
Tentara menembaki massa sementara orang-orang yang tergerak oleh pesan-pesan media serta dijanjikan imbalan oleh pemerintah mendatangi rumah-rumah dan membunuh setiap orang Tutsi yang mereka ketahui, termasuk orang Hutu yang menawarkan perlindungan kepada orang Tutsi. Tidak sedikit yang bahkan membunuh tetangga dan anggota keluarga mereka sendiri. Ada pula yang memperkosa perempuan dan menjarah rumah. Banyak korban juga digiring ke area terbuka dan dibunuh di sana secara bersamaan.
Aksi pembunuhan massal berakhir setelah 100 hari, tepatnya pada 4 Juli ketika RPF berhasil menguasai Kigali. Orang-orang Hutu yang terlibat dalam genosida serta warga Hutu lainnya yang takut akan pembalasan melarikan diri dari negara tersebut ke Kongo. Pejabat pemerintah mengambil kas negara dan ikut melarikan diri ke Prancis.