Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari TKI Menjadi Pengusaha

Kompas.com - 19/01/2013, 04:39 WIB

Agar tak menganggur, Ferry bekerja ke luar negeri. Pertengahan 1995 ia berangkat ke Taiwan, berbekal janji saudara temannya yang bisa memberikan pekerjaan di Taiwan. Ia nekat menggunakan visa turis yang berbatas maksimal 14 hari. Namun, janji pekerjaan itu ternyata tak terwujud.

Daripada pulang tanpa hasil, dia mencoba bekerja di pabrik granit. Ia bekerja fisik mengandalkan otot dengan gaji sekitar Rp 6,6 juta per bulan. Namun, baru dua bulan bekerja, masalah muncul. Pemilik pabrik memanggil para pekerja asal Indonesia dengan sebutan ”Indon”. Ia tersinggung dan mundur dari pabrik granit itu.

Ferry pindah bekerja ke pabrik pembuat peti kayu. Di sini pun dia bekerja fisik, dengan gaji sekitar Rp 7,6 juta. ”Hampir seharian saya harus duduk dan jongkok. Kalau mau berdiri, punggung saya serasa mau patah,” kisahnya.

Ketekunannya membuat posisi Ferry naik menjadi mandor, dengan anak buah orang Taiwan. Gajinya saat itu Rp 8,5 juta-Rp 8,9 juta. Selama bekerja 1 tahun 8 bulan di pabrik peti itu, setiap hari sepulang bekerja, Ferry bekerja lagi di tempat lain dengan gaji Rp 26.000 per jam. Dia pernah bekerja di pabrik sepatu, pabrik roti, dan percetakan.

Sebagian penghasilan itu ia sisihkan untuk membeli mesin bekas pembuat karton. Mesin yang rusak itu diperbaiki, kemudian dia kirim ke Indonesia. Setelah merasa cukup memetik pengalaman, Ferry pamit kepada pemilik perusahaan, Lee Yung Ching. Sang bos kemudian malah meminjami Ferry modal sekitar Rp 1 miliar.

Sebelum pulang ke Indonesia, Ferry harus melapor kepada polisi Taiwan sekaligus minta izin keluar. Karena terbukti tinggal lebih lama dari seharusnya, ia didenda sekitar Rp 2,5 juta dan masuk ”daftar hitam”.

Tahun 1997, saat ia pulang, Indonesia terkena krisis moneter. Namun, mimpi Ferry tak pudar. Ia memulai usaha di bidang rajut dan langsung membeli 17 mesin. Sembari berbisnis rajut, dia tetap mengimpor mesin bekas pembuat karton dari Taiwan untuk dijual di Indonesia.

Sampai suatu hari mantan bosnya, Lee Yung Ching, memintanya ke Taiwan untuk mengelola pabrik selama sang bos berlibur ke Hongkong. Agar tak bermasalah dengan pihak imigrasi Taiwan, dia yang semula memakai paspor dengan nama Tjung Phin mengganti namanya menjadi Ferry Alfiand.

Gemar mesin

Kegemarannya pada dunia mesin membuat Ferry setiap tahun selalu menyempatkan diri mengunjungi pameran mesin di China. Ketajaman naluri bisnisnya di jalur ini mengantarkan dia menjadi pelaku utama fabrikasi kotak suara untuk Pemilihan Umum 2004.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com