Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari TKI Menjadi Pengusaha

Kompas.com - 19/01/2013, 04:39 WIB

Pahit getir sebagai tenaga kerja Indonesia di Taiwan ”mencambuk” semangat Ferry Alfiand (40) untuk hidup mandiri. Pengalaman itu membuat dia tak sekadar punya usaha sendiri, tetapi juga mampu mempekerjakan orang asing. Teori ”roda pedati berputar” diaktualisasikan pria asal Singkawang, Kalimantan Barat, ini. Nasrullah Nara

Pengalaman empiris di negeri orang itu memberi pelajaran berharga baginya. Saat merantau ke Taiwan tahun 1995-1997 dengan cara ilegal, ia banting tulang di pabrik granit dan perusahaan peti kayu. Diam-diam diamatinya etos kerja orang asing yang lekat dengan disiplin dan efisiensi.

Jadilah ia kini ”bos” di perusahaan pengepakan yang berbasis di Jakarta, seraya mengelola tambang zirkon di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Di bawah bendera PT Cipta Lestari Packindo, ia mempekerjakan 50 orang untuk bisnis kardus. Adapun untuk usaha tambang zirkon, ia dibantu sembilan pekerja dari China dan ratusan warga setempat yang diberdayakan dengan pola maklun.

Pria bernama asli Tjung Phin ini tak menampik bila apa yang dilakoninya kini adalah bagian dari ”dendam” masa lalu. ”Saya ingin hidup ini lebih bermakna bagi orang lain,” ujarnya.

Ferry bercerita, saat berusia 4 tahun 6 bulan, bungsu dari enam bersaudara ini ditinggal sang ayah, Tjhai Khun Kong. Setelah itu, yang mengasuh dan membesarkannya adalah sang ibu, Bong Moi Siu (71).

Pergulatan hidup yang keras mulai direngkuhnya setamat Sekolah Teknik Menengah Negeri Singkawang tahun 1990. Kala itu, keluarga besar Ferry, termasuk ibunya, hijrah ke Jakarta untuk menyambung hidup.

Ia sempat kuliah di Universitas Persada Indonesia Jurusan Manajemen Informatika. Namun, karena sakit-sakitan, ia hanya mengenyam satu semester. Tahun berikutnya ia masuk ke Universitas Bina Nusantara dan sempat bekerja pada beberapa perusahaan di sela-sela kuliahnya.

Dia bekerja di sebuah perusahaan pembuat benang di Jelambar, Jakarta Barat. Hanya betah 8 bulan, ia pindah menjadi anggota staf akunting pabrik kayu lapis (plywood). Dia juga mengincar pekerjaan di perusahaan jasa ekspor impor yang berkantor di Muara Karang. Selanjutnya, ia bekerja di pabrik mi.

Empat kali bekerja dengan ”makan gaji”, ia mencoba merintis usaha sendiri. Tahun 1993-1994 dicobanya mendirikan persewaan laser disk (LD). Setiap akhir pekan, penyewa LD merubung kiosnya. Namun, situasi tersebut hanya bertahan setahun. Kala itu, perdagangan internasional menerapkan hak cipta sehingga LD menjadi mahal. Apalagi tak lama kemudian muncul cakram padat (CD) yang harganya jauh lebih murah.

TKI visa turis

Agar tak menganggur, Ferry bekerja ke luar negeri. Pertengahan 1995 ia berangkat ke Taiwan, berbekal janji saudara temannya yang bisa memberikan pekerjaan di Taiwan. Ia nekat menggunakan visa turis yang berbatas maksimal 14 hari. Namun, janji pekerjaan itu ternyata tak terwujud.

Daripada pulang tanpa hasil, dia mencoba bekerja di pabrik granit. Ia bekerja fisik mengandalkan otot dengan gaji sekitar Rp 6,6 juta per bulan. Namun, baru dua bulan bekerja, masalah muncul. Pemilik pabrik memanggil para pekerja asal Indonesia dengan sebutan ”Indon”. Ia tersinggung dan mundur dari pabrik granit itu.

Ferry pindah bekerja ke pabrik pembuat peti kayu. Di sini pun dia bekerja fisik, dengan gaji sekitar Rp 7,6 juta. ”Hampir seharian saya harus duduk dan jongkok. Kalau mau berdiri, punggung saya serasa mau patah,” kisahnya.

Ketekunannya membuat posisi Ferry naik menjadi mandor, dengan anak buah orang Taiwan. Gajinya saat itu Rp 8,5 juta-Rp 8,9 juta. Selama bekerja 1 tahun 8 bulan di pabrik peti itu, setiap hari sepulang bekerja, Ferry bekerja lagi di tempat lain dengan gaji Rp 26.000 per jam. Dia pernah bekerja di pabrik sepatu, pabrik roti, dan percetakan.

Sebagian penghasilan itu ia sisihkan untuk membeli mesin bekas pembuat karton. Mesin yang rusak itu diperbaiki, kemudian dia kirim ke Indonesia. Setelah merasa cukup memetik pengalaman, Ferry pamit kepada pemilik perusahaan, Lee Yung Ching. Sang bos kemudian malah meminjami Ferry modal sekitar Rp 1 miliar.

Sebelum pulang ke Indonesia, Ferry harus melapor kepada polisi Taiwan sekaligus minta izin keluar. Karena terbukti tinggal lebih lama dari seharusnya, ia didenda sekitar Rp 2,5 juta dan masuk ”daftar hitam”.

Tahun 1997, saat ia pulang, Indonesia terkena krisis moneter. Namun, mimpi Ferry tak pudar. Ia memulai usaha di bidang rajut dan langsung membeli 17 mesin. Sembari berbisnis rajut, dia tetap mengimpor mesin bekas pembuat karton dari Taiwan untuk dijual di Indonesia.

Sampai suatu hari mantan bosnya, Lee Yung Ching, memintanya ke Taiwan untuk mengelola pabrik selama sang bos berlibur ke Hongkong. Agar tak bermasalah dengan pihak imigrasi Taiwan, dia yang semula memakai paspor dengan nama Tjung Phin mengganti namanya menjadi Ferry Alfiand.

Gemar mesin

Kegemarannya pada dunia mesin membuat Ferry setiap tahun selalu menyempatkan diri mengunjungi pameran mesin di China. Ketajaman naluri bisnisnya di jalur ini mengantarkan dia menjadi pelaku utama fabrikasi kotak suara untuk Pemilihan Umum 2004.

Bagi dia, dengan memiliki relasi luas berarti kemudahan menjalin kerja sama. Untuk pembuatan kotak suara berbahan aluminium itu, misalnya, Ferry bekerja sama dengan 5 bengkel di Jakarta, 3 bengkel di Surabaya, dan 3 bengkel di Medan.

Selepas memproduksi kotak suara, dia mulai bergaul dengan kalangan usahawan tambang. Saat diajak berkunjung ke sebuah pabrik zirkon di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kepada sang teman dia menyatakan bisa membuat mesin pendulang model spiral, perangkat pembersihan, dan pemilahan zirkon dari pasir.

Hal itu diwujudkannya di Pontianak dengan mendirikan pabrik pengolahan zirkon. Dalam perkembangannya, Ferry lalu berkonsentrasi mengelola pabrik zirkon di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Menyadari keterbatasan pengetahuannya di bidang pertambangan, dia mendatangkan sembilan tenaga ahli dari China dengan status tenaga kerja asing resmi. Kepada warga sekitar yang bekerja kepadanya dengan pola maklun, ia ajarkan nilai kerja keras, menjaga standar mutu, dan mengembangkan sikap saling percaya.

Meski berawal dari TKI gelap, Ferry membuktikan, dengan itikad baik, kerja keras, loyal, dan jujur, kemungkinan menjadi pengusaha pun terbuka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com