Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelembagaan Pangan

Kompas.com - 27/09/2012, 03:48 WIB

Pada level implementasi, karena tak ada lembaga yang merumuskan kebijakan dan mengoordinasikan kegiatan pangan, pelbagai kontradiksi, komplikasi kebijakan, dan egosektoral selalu berulang. Tak ada evaluasi dan umpan balik. Masalah-masalah prinsip yang potensial membuat aneka kebijakan pangan lumpuh tanpa intervensi.

Misalnya, di level hulu bagaimana Kementerian Pertanian seolah berjalan sendiri mencapai target surplus 10 juta ton beras, swasembada gula, jagung, kedelai, dan daging sapi pada 2014. Untuk mencapai itu, mutlak perlu tambahan lahan dan ketersediaan air. Namun, Kementerian Kehutanan justru mengobral lahan (hutan) untuk segelintir pengusaha tambang, HPH, HTI, atau perkebunan. Target pembangunan dan perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, pelabuhan, dan lain-lain) Kementerian PU juga tak nyambung dengan target-target swasembada.

Penuh paradoks

Terjadilah paradoks yang tidak masuk akal. Program peningkatan daya saing, peningkatan produksi dan kesejahteraan petani selalu didengungkan, tetapi pada saat yang sama degradasi sumber daya tanah, air, dan iklim akibat pembabatan hutan dan buruknya implementasi tata ruang akibat intervensi pemodal kuat/pejabat dengan argumen sumber devisa terus berlangsung nir-intervensi.

Daya tampung dan distribusi daerah aliran sungai juga kian memburuk karena infrastruktur irigasi tak pernah dibenahi. Waduk-waduk besar di Jawa airnya kritis. Mungkinkah menanam kalau air tak tersedia cukup? Pupuk, bibit unggul, dan semua input tak akan optimal tanpa air. Berlanjutnya konversi lahan produktif membuat investasi irigasi dan jalan jadi muspro ’sia-sia’.

Di hilir, kondisinya makin parah. Bukan saja tak terkoordinasi, kepentingan setiap kementerian justru bertolak belakang. Semua pihak berpikir untuk kepentingan sektoral. Ketika Kementerian Pertanian mati-matian menggenjot produksi, Kementerian Perdagangan justru mengobral izin impor. Keputusan mengimpor 1 juta ton beras pada saat panen masih berlangsung dan pemangkasan subsidi pupuk dari 10 juta ton jadi 8,5 juta ton untuk menambal defisit APBN hanya contoh kecil dari aneka kontradiksi itu. Nihilnya dukungan bank, pencabutan subsidi, tidak fokusnya perencanaan SDM pertanian, liberalisasi kebablasan, dan tidak bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset dengan petani akhirnya membuat berbagai upaya menjadi sia-sia.

Yang paling parah, sejak otonomi daerah, Kementerian Pertanian seperti anak tiri karena tak punya ”tangan dan kaki” di daerah. Apalagi para elite daerah tak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian-pangan lahir dari daerah. Padahal, implementasi dan eksekusi program ada di daerah. Dalam kondisi seperti itu, petani miskin dan gurem berjuang sendiri. Sampai kapan ini berlangsung? Mungkinkah menumpukan pangan kepada petani miskin-gurem?

Saat ini, pemerintah-DPR tengah menuntaskan revisi UU No 7/1996 tentang Pangan. Dalam Pasal 113 RUU Pangan, diusulkan pembentukan Kementerian Negara Urusan Pangan. Kementerian bertugas merumuskan dan melakukan koordinasi kebijakan pangan nasional, menjamin ketersediaan, akses, stabilisasi, dan keamanan pagan nasional. Akankah masalah pangan usai dengan pembentukan kelembagaan ini? Tentu tidak. Selain kelembagaan, lebih penting lagi adalah keberpihakan, keberpihakan pada petani dan produksi domestik. Tanpa keberpihakan, kelembagaan hanya macan ompong.

Khudori Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com