Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sentimen Sektarian Mengancam Demokrasi

Kompas.com - 18/06/2012, 19:04 WIB
Wisnu Dewabrata

Penulis

Tanggapan Suu Kyi muncul, tak lama setelah seorang tokoh Muslim Rohingya, Mohammad Islam, mengritik keras sang pemenang Hadiah Nobel dari tempatnya mengungsi di Banglades. Suu Kyi oleh Muslim, dianggap tak beda dengan tokoh-tokoh demokrasi lain yang warga Burma. Hanya berdiam diri dan terkesan tak peduli dengan masalah itu.

Diabaikan dan terdiskriminasi Pemerintah Myanmar, sejak masa rezim junta militer, memang diketahui tidak pernah mengakui keberadaan warga Rohingya. Warga Rohingya dianggap pengungsi atau orang luar, walau keberadaan mereka di kawasan Arakan, nama lama untuk Rakhine, bisa ditelusuri sejak masa penjajahan Inggris sekitar seabad lalu.

Warga Burma (Myanmar) yang multi-etnis juga punya sentimen dan penolakan tersendiri, seperti ditunjukkan rekan Kompas yang juga aktivis demokrasi tadi.

Lembaga Human Rights Watch (HRW) dan Perserikatan Bangsa Bangsa menyebut, bangsa Rohingya sebagai kelompok orang dan pengungsi paling teraniaya di dunia. Jumlah populasi mereka di Asia mencapai sejuta orang. Sebanyak 800.000 orang terkonsentrasi di Rakhine, dan sisanya tersebar di Banglades serta negara-negara Timur Tengah.

Keberadaan mereka di Myanmar terbilang sangat menyedihkan. Mereka kerap dijadikan obyek kerja paksa, terutama oleh kalangan militer. Kehidupan dan pergerakan mereka pun dibatasi. Tidak hanya saat akan menikah, bahkan untuk bepergian ke luar desa tempat mereka tinggal pun, mereka diwajibkan mengurus izin aparat setempat.

Khawatir dengan kemungkinan terus bertambahnya populasi mereka, pemerintah Myanmar membatasi setiap keluarga Rohingya hanya boleh punya dua orang anak.

Oleh pemerintah, terutama militer, warga Rohingya kerap diusir paksa. Pada tahun 1978 sekitar 200.000 orang Rohingya dipaksa melintasi perbatasan Banglades.

Pemerintah Banglades balik mengusir mereka kembali ke Myanmar. Saat itu sedikitnya 10.000 orang tewas dalam kondisi menyedihkan, baik karena luka akibat dianiaya, sakit, atau kelaparan.

Langkah sama dilakukan lagi oleh militer Myanmar sepanjang tahun 1991 dan 1992. Tragedi memilukan terjadi tahun 2009, ketika lima kapal pengangkut pengungsi Rohingya ditangkap otoritas Thailand.

Sejumlah kelompok hak asasi manusia menyebut, mereka ditahan dan dipukuli lalu dipaksa kembali ke laut dalam kondisi mengenaskan tanpa bahan bakar, makanan, atau air minum. Ratusan dari mereka diyakini tewas dan tenggelam.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com