Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sentimen Sektarian Mengancam Demokrasi

Kompas.com - 18/06/2012, 19:04 WIB
Wisnu Dewabrata

Penulis

KOMPAS.com - Dalam perjalanan menuju kediaman salah seorang aktivis senior, sekaligus mantan tahanan politik Myanmar pada April lalu, Kompas berbincang ringan dengan salah seorang rekan aktivis di negeri itu, yang kebetulan bersedia mengantar.

Saat itu Kompas menanyakan keberadaan sekumpulan orang berpenampilan berbeda, terutama dari segi fisik, yang tampak berkumpul di beberapa sudut jalan di kota Yangon. Perbedaan mencolok terutama pada warna kulit mereka yang jauh lebih legam, dengan batang hidung lebih mancung ala orang-orang Hindustan.

Selain tampilan fisik, perbedaan mencolok lain juga tampak dari pakaian yang dikenakan. Orang-orang itu tampak mengenakan pakaian sangat lusuh, bersarung, dan kebanyakan malah tak beralas kaki. Sekilas tampilan mereka tampak seperti pengemis atau pekerja kasar.

Reaksi serta jawaban mengejutkan keluar dari mulut sang rekan aktivis itu. Menurut dia, orang-orang itu adalah warga Rohingya. Dia memberi penekanan pada kata "Rohingya", sambil menegaskan mereka bukan bagian dari etnis di Myanmar.

"Mereka bukan bangsa kami. Anda harus hati-hati kalau berbicara soal Rohingya," ujarnya ketus dan terkesan emosional, sambil menunjukkan sikap enggan membahas lebih jauh masalah itu.

Keberadaan warga Rohingya di Myanmar memang sejak lama menjadi persoalan kronis. Belakangan, sekitar dua pekan lalu, kerusuhan berdarah bernuansa sektarian pecah dan meluas di kawasan barat negeri, yang baru saja membuka diri itu.

Sejumlah kota di Provinsi Rakhine bergolak, diguncang konflik berlatar ras dan agama.

Data resmi terakhir pemerintah menyebutkan, kerusuhan memakan korban jiwa. Sebanyak 29 orang, 16 orang dari mereka berasal dari kelompok minoritas warga Muslim Rohingya, tewas dan sisanya berasal dari kubu warga mayoritas Buddhis.

Selain korban tewas, kerusuhan beradar juga merusak dan membakar 2.600 bangunan rumah, toko, pasar, perkantoran, dan tempat ibadah.

Selain itu sekitar 32.000 orang warga Rakhine, yang tentu saja non warga Rohingya, mengungsi di sedikitnya 37 kamp penampungan sementara.

Ribuan warga Rohingya lain yang ketakutan, kebanyakan perempuan dan anak-anak, melarikan diri ke Banglades dengan menumpang perahu menyeberangi Sungai Naf.

Namun mereka diusir kembali ke Myanmar oleh pemerintah Banglades. Dhaka berkilah, mereka tidak mau ketempatan lantaran kemampuan mereka pun terbatas.

Langkah itu dikecam sejumlah organisasi kemanusiaan dunia seperti Human Right Watch (HRW) dan Perserikatan Bangsa Bangsa.

Terlepas dari semua itu, kerusuhan berdarah diyakini tidak perlu sampai terjadi dan menyulut sentimen ras dan agama, yang memang sejak lama sudah menjadi "api dalam sekam".

Kekacauan tak perlu terjadi, kalau saja aparat kepolisian Myanmar bekerja cepat menangkap tiga kriminal pelaku pemerkosaan dan pembunuhan atas seorang perempuan lokal pada Mei lalu. Peristiwa kriminal itulah yang diyakini menjadi akar persoalan.

Polisi baru berhasil menangkap ketiga pelaku, yang kebetulan berasal dari warga Muslim Rohingya, setelah jatuh korban jiwa tak perlu. Sebanyak 10 orang warga Muslim Rohingya tewas dihakimi ratusan massa warga Buddhis, yang marah dan mencegat sebuah bus yang tengah melaju ke Yangon di Distrik Taungup.

Warga yang marah merasa yakin, tiga pelaku pembunuhan dan perkosaan ada di antara kesepuluh orang tersebut. Ditambah lagi mereka tepicu selebaran gelap, berisi sentimen dilatari peristiwa kriminal tadi. Tak terelakkan, kerusuhan berlanjut dan merambat ke mana-mana.

Kedua kubu saling serang dan saling menyalahkan satu sama lain, sebagai pemicu masalah.

Presiden Thein Sein menerapkan status darurat di Rakhine. Sayang langkah itu dinilai banyak kalangan justru bakal memicu persoalan baru. Status darurat hanya memberi jalan bagi militer untuk turun tangan. Padahal dari rekam jejak mereka, militer justru menjadi sumber persoalan terutama di masa lalu.

Setelah relatif tak berkomentar banyak, pejuang demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, dari Eropa mengingatkan langkah penyelesaian politis dan penegakan hukum adalah satu-satunya cara menyelesaikan masalah secara permanen.

Tanggapan Suu Kyi muncul, tak lama setelah seorang tokoh Muslim Rohingya, Mohammad Islam, mengritik keras sang pemenang Hadiah Nobel dari tempatnya mengungsi di Banglades. Suu Kyi oleh Muslim, dianggap tak beda dengan tokoh-tokoh demokrasi lain yang warga Burma. Hanya berdiam diri dan terkesan tak peduli dengan masalah itu.

Diabaikan dan terdiskriminasi Pemerintah Myanmar, sejak masa rezim junta militer, memang diketahui tidak pernah mengakui keberadaan warga Rohingya. Warga Rohingya dianggap pengungsi atau orang luar, walau keberadaan mereka di kawasan Arakan, nama lama untuk Rakhine, bisa ditelusuri sejak masa penjajahan Inggris sekitar seabad lalu.

Warga Burma (Myanmar) yang multi-etnis juga punya sentimen dan penolakan tersendiri, seperti ditunjukkan rekan Kompas yang juga aktivis demokrasi tadi.

Lembaga Human Rights Watch (HRW) dan Perserikatan Bangsa Bangsa menyebut, bangsa Rohingya sebagai kelompok orang dan pengungsi paling teraniaya di dunia. Jumlah populasi mereka di Asia mencapai sejuta orang. Sebanyak 800.000 orang terkonsentrasi di Rakhine, dan sisanya tersebar di Banglades serta negara-negara Timur Tengah.

Keberadaan mereka di Myanmar terbilang sangat menyedihkan. Mereka kerap dijadikan obyek kerja paksa, terutama oleh kalangan militer. Kehidupan dan pergerakan mereka pun dibatasi. Tidak hanya saat akan menikah, bahkan untuk bepergian ke luar desa tempat mereka tinggal pun, mereka diwajibkan mengurus izin aparat setempat.

Khawatir dengan kemungkinan terus bertambahnya populasi mereka, pemerintah Myanmar membatasi setiap keluarga Rohingya hanya boleh punya dua orang anak.

Oleh pemerintah, terutama militer, warga Rohingya kerap diusir paksa. Pada tahun 1978 sekitar 200.000 orang Rohingya dipaksa melintasi perbatasan Banglades.

Pemerintah Banglades balik mengusir mereka kembali ke Myanmar. Saat itu sedikitnya 10.000 orang tewas dalam kondisi menyedihkan, baik karena luka akibat dianiaya, sakit, atau kelaparan.

Langkah sama dilakukan lagi oleh militer Myanmar sepanjang tahun 1991 dan 1992. Tragedi memilukan terjadi tahun 2009, ketika lima kapal pengangkut pengungsi Rohingya ditangkap otoritas Thailand.

Sejumlah kelompok hak asasi manusia menyebut, mereka ditahan dan dipukuli lalu dipaksa kembali ke laut dalam kondisi mengenaskan tanpa bahan bakar, makanan, atau air minum. Ratusan dari mereka diyakini tewas dan tenggelam.

Pada tahun itu pula, secara memalukan, pemerintah Myanmar melalui Konsul Jenderal mereka di Hong Kong, yang sekarang duta besar Myanmar di PBB, mendeskripsi warga Rohingya sebagai "monster ogre" yang buruk rupa.

Dalam surat terbukanya, sang diplomat menyebut dan membandingkan warna kulit orang Rohingya yang "coklat gelap" dengan kulit kebanyakan warga Myanmar yang "bersih dan halus".

Jika sikap negatif dan penolakan macam itu masih terus dipelihara keberadaannya, boleh jadi kekhawatiran dunia terhadap kelangsungan proses demokrasi dan reformasi di Myanmar sangat beralasan.

Seharusnya, sebagai pihak yang pernah mengalami penindasan di masa lalu, setidaknya warga Burma bisa sedikit berempati dengan penderitaan kelompok minoritas teraniaya lain.

Dengan empati itu, seharusnya semua pihak bisa duduk bersama mencari cara penyelesaian yang tebaik dan adil bagi semua pihak. (BBC/AFP/REUTERS/AP/DWA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com