Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belahan Jiwa Wartawan Tiga Zaman

Kompas.com - 22/05/2011, 04:04 WIB

ST SULARTO

• Judul: - Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar & Zuraida Sanawi 
• Pengarang: Rosihan Anwar 
• Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2011 
• Tebal: xxxiii + 234 halaman • ISBN: 978-979-709-566-6 

”Saya akan tulis sendiri biografi saya, memoar, bergaya novel.” Dan, sekitar awal April 2011, janji itu dia penuhi. Selesailah buku terakhirnya: sebuah memoar kasih sayang percintaannya dengan Zuraida Sanawi, yang tutup usia pada tahun sebelumnya. 

Dibantu salah satu cucunya, Alma Fanniya Idral, ia mengedit terakhir naskah, menentukan urutan penempatan tiga Pengantar: Jakob Oetama, Toeti Heraty, dan Sabam Siagian. ”Jakob dan Sabam, bagus saya tahu. Toeti kan filosof,” komentarnya ketika terbaring sakit di RS Harapan Kita.

Rosihan Anwar sudah memenuhi janji yang dia katakan kepada beberapa teman pada saat makan malam peluncuran bukunya, Petite Histoire jilid 4, Oktober 2010. Namun, kehendak Sang Khalik tidak bisa dilawan. Haji Rosihan Anwar (10 Mei 1922-14 April 2011) meninggal beberapa hari sebelum buku ini terbit.

Membaca buku ini ibarat membaca novel. Asyik! Sebuah memoar percintaan yang dikemas sebagai memoar otobiografi perjalanan hidup Rosihan Anwar. Disebut memoar karena tidak seluruhnya disampaikan lengkap, baik jalinan kisah percintaan maupun perjalanan hidup Rosihan Anwar. Hanya bagian-bagian tertentu yang disampaikan, yang paling diingat dan dipilih hanya yang ingin disampaikan kepada khalayak.

Seperti tamsil yang sering dia sampaikan secara lisan, ia menulis dalam air. Mengalir dan membiarkan diri terbuai arus. Dia tidak melawan derasnya arus, tetapi mengikuti arus, karena itu tulisan-tulisannya mengalir enak dibaca. Dilengkapi data serba detail, kelebihan ini dipuji oleh Jakob Oetama. ”Rosihan itu serba detail tidak umum- umum saja.” Jalinan kisahnya menyatu. Tidak saja berkisah tentang percintaan, tetapi juga lanskap momen- momen penting perjalanan negeri ini. Karena profesinya, karena inklinasinya, karena sosoknya yang ingin omni present (hadir dalam semua peristiwa), utamanya momen-momen penting kenegaraan. Dialah saksi sejarah negeri ini dengan jatuh- bangunnya, sejak sebelum merdeka di zaman penjajahan, di zaman merdeka, bahkan di zaman reformasi beberapa tahun terakhir. Rosihan dan Zuraida (Ida) ibarat cawan mosaik, menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah.

Tidak ada pembagian kaku atas memoar percintaan dan memoar Rosihan. Keduanya berkelindan satu sama lain, mengalir. Dimulai dari rumah di Jalan Ketapang yang dirampas NICA, berakhir dengan saat-saat sebelum meninggalnya. Ingatannya prima, keunggulan yang sampai sekarang dikagumi rekan-rekannya wartawan muda, membuat kisah percintaan dan memoar otobiografi ini menarik. Tidak saja sejarah pribadi, tetapi juga sejarah negeri ini.

Kaget dipanggil ”tuwan”

Pertemuan pertama dengan buah hati selalu mengesan, yang kemudian dijalin dengan kisah standar tentang rumah tangga dan kehidupan bersama membangun keluarga. Rosihan dan Ida bertemu pertama kali di harian Asia Raya, awal April 1943. Bersama Halimah, Ida bekerja di bagian sekretariat redaksi yang tempat duduknya tidak jauh dari Soekardjo Wiryopranoto, Pemimpin Umum Asia Raya dan pemimpin Partai Indonesia Raya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com