Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekuatan "Crowdsourcing"

Kompas.com - 07/02/2011, 07:01 WIB
DAHONO FITRIANTO

KOMPAS.com - Bayi itu lahir sudah. Setelah 30 tahun dicengkeram kekuasaan absolut ”presiden seumur hidup”, bayi kedaulatan rakyat telah lahir di Mesir dalam aksi yang mencengangkan seluruh dunia.

Rakyat telah mendobrak tembok rasa takut itu xdan bayi ini telah lahir. Apakah dia bayi lelaki atau perempuan? Akan kami beri ASI atau susu bubuk? Bagaimana kami akan membesarkan dia? Ke mana kami akan menyekolahkannya? Kami belum tahu semua itu, tetapi yang jelas bayi ini sudah lahir,” tutur Gameela Ismail (44), tokoh jurnalis televisi Mesir, kepada majalah Newsweek edisi 7 Februari 2011.

Banyak pengamat senada dengan Ismail. Apa pun yang akan terjadi setelah ini tak akan mengembalikan Mesir yang lama. ”Kalian semua telah mengambil kembali hak-hak kalian. Apa yang telah kita mulai tak bisa disurutkan lagi,” seru pemimpin oposisi Mohamed ElBaradei di hadapan puluhan ribu warga Mesir di Alun-alun Tahrir, Kairo, Minggu (30/1/2011) malam.

Fawaz Gergez, pakar Timur Tengah dari London School of Economics, menyebut revolusi Mesir yang dimulai pada 25 Januari dan mencapai puncaknya dengan berkumpulnya sekitar dua juta demonstran di sekitar Alun-alun Tahrir, Selasa (1/2/2011), adalah ”Momen Berlin” dunia Arab, mengacu pada robohnya Tembok Berlin, Jerman, November 1989.

”Tembok otoritarianisme itu telah runtuh, terlepas dari Mubarak jadi terguling atau tidak,” tutur Gergez kepada Reuters, Minggu.

Semua itu sepertinya terjadi begitu tiba-tiba. Tak seorang pun di dunia menduga eskalasi situasi di Mesir bisa terjadi begitu cepat. Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter yang mensponsori perjanjian damai bersejarah Mesir-Israel di Camp David, AS, 1979, menyebut krisis Mesir ”mengguncang dunia” dan ”situasi paling genting di Timur Tengah” sejak ia tak lagi menjadi presiden.

Batas toleransi rakyat

Dari sisi alasan, revolusi yang sedang terjadi di Mesir tak jauh beda dari semua revolusi di muka Bumi. Rakyat muak dengan kemiskinan, pengangguran, kenaikan harga barang dan biaya hidup, korupsi, dan ketimpangan gaya hidup.

”Saya hanya bisa makan roti kering. Saya tak mampu membeli daging. (Tetapi) Hosni makan lobster dan kaviar setiap hari. Saya ingin dia dan keluarganya pergi dari sini. Saya sudah lelah dan muak dengan para pengecut itu!” tandas demonstran bernama Guindy (24) kepada Reuters.

Demonstran lain menggambarkan habisnya toleransi mereka atas segala represi dan kekejaman penguasa. ”Bukannya membantu rakyat yang sedang memperjuangkan hak mereka, orang-orang ini justru bertingkah seperti setan. Saya tak peduli dengan politik dan juga seorang penakut, tetapi akan ikut ke jalan karena tak bisa melihat mereka membunuh saudara- saudara kami,” kata Zeinab Abdel Fattah (17) tentang tindakan polisi yang secara brutal berusaha membubarkan aksi damai para demonstran.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com