BEBERAPA hari setelah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina pada Februari 2022, negara-negara Barat merespons dengan mengenakan sejumlah sanksi terhadap Rusia dengan harapan hal itu akan menjatuhkan perekonomian Rusia sehingga Rusia tak lagi mampu membiayai operasi militernya.
Tak hanya figur politik dan para oligarki, sanksi-sanksi tersebut juga mencakup pembekuan cadangan devisa, pembatasan akses terhadap teknologi Barat, dan pemutusan akses bank-bank Rusia kepada sistem pembayaran internasional Swift.
Pada awal sanksi tersebut dikeluarkan, efek yang dihasilkan cukup sesuai dengan yang diharapkan. Di tahun 2022, nilai rubel anjlok dan perekonomian Rusia mengalami kontraksi sebesar 1,2 persen. Walau begitu, hal tersebut tak berlangsung lama. Tahun selanjutnya, perekonomian Rusia kembali bertumbuh, bahkan melampaui Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Baca juga: Hubungan China-Rusia Makin Kuat Laiknya Monolit
Membaiknya ekonomi Rusia di tengah-tengah gempuran sanksi Barat banyak dipengaruhi oleh hubungan perdagangannya dengan China. Tekanan AS dan Uni Eropa justru telah mendorong kedua negara tersebut memperkuat aliansinya.
China merupakan pemasok andalan Rusia untuk berbagai macam jenis produk mulai dari mobil, pakaian, hingga bahan mentah. Secara keseluruhan, perdagangan antara China dengan Rusia telah mencapai 240 miliar dolar (Rp 3.858 triliun) pada tahun 2023. Angka itu 64 persen lebih tinggi dibanding tahun 2021.
Impor Rusia dari China mencapai 111 miliar dolar (Rp 1.784 triliun) sedangkan ekspornya ke China mencapai 129 miliar dolar (Rp 2.074 triliun), menurut data resmi China.
Hubungan dagang mereka begitu membaik sehingga keduanya kini juga menggunakan mata uang mereka sendiri untuk 90 persen aktivitas perdagangan alih-alih dolar AS. Presiden Xi China, Xi Jinping, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengungkap hal itu pada pertemuan mereka di Beijing bulan Mei ini.
Putin juga mengungkap bahwa ia akan menyambut baik produsen mobil China di Rusia pasca AS umumkan kenaikan tarif sampai dengan 4 kali lipat pada kendaraan listrik China. Selain itu, Putin berbicara tentang “proyek bersama berskala besar” antara kedua negara yang salah satunya mencakup rencana untuk membangun pesawat dan helikopter bersama-sama.
Sebagian besar dari keseluruhan pendapatan pemerintah Rusia didapatkan dari penjualan minyak dan gas. Walau begitu, gempuran sanksi membuat Rusia tak bisa lagi mengandalkan AS, Inggris, dan negara-negara Uni Eropa sebagai pembeli. Akibatnya, penjualannya pun sempat menurun.
Namun, hal itu tak lagi jadi masalah sejak China menempati posisi sebagai pembeli utama minyak dan gas Rusia. Di tahun 2023, Rusia bahkan berhasil melangkahi posisi Arab Saudi sebagai pemasok minyak mentah utama China. Beijing dilaporkan telah mengimpor sebanyak 107 juta ton minyak mentah dari Moskwa, 24 persen lebih tinggi dari tahun 2022.
Di tahun yang sama, China juga mengimpor 8 juta ton bahan bakar gas cair (LPG) dari Rusia, 77 persen lebih tinggi daripada tahun 2021.
Tak hanya itu, China juga terus membeli minyak mentah Rusia dengan harga di atas nominal yang telah ditetapkan oleh kelompok negara-negara G7 bersama dengan Uni Eropa dan Australia yang berupaya membatasi pendapatan Rusia dengan memberlakukan batasan harga minyak yang diangkut melalui laut di seluruh dunia.
Baca juga: Perjalanan Hubungan Rusia-China dari Era Soviet sampai Saat Ini
Hubungan energi keduanya akan terus bertumbuh, kata Putin, saat menghadiri sebuah pameran perdagangan di Harbin pada hari kedua kunjungannya ke China. Putin menambahkan bahwa Rusia siap untuk memasok energi ramah lingkungan ke China.
Moskwa berharap dapat membuat kemajuan dalam menyelesaikan perjanjian pipa baru yang disebut Kekuatan Siberia 2. Pipa ini akan digunakan untuk mengekspor gas alam dari wilayah Siberia di Rusia ke timur laut China.
China telah berulang kali menolak tuduhan bahwa mereka telah memasok Rusia dengan senjata. Meski begitu, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken percaya bahwa China telah berperan dengan menyediakan komponen-komponen penting untuk membuat persenjataan perang.