ISU seputar LGBT (lesbian, gay, bisexual, and transgender) sampai saat ini masih jadi topik tabu di beberapa negara. Di negara-negara yang cenderung progresif dan liberal, pembahasan tentang LGBT sudah menjadi hal biasa. Namun di negara-negara yang konservatif, pembahasan seperti itu dianggap asing dan tidak bermoral.
Our World in Data menyatakan bahwa terdapat 60 negara di dunia yang mengkriminalisasi aktivitas sesama jenis. Di sisi lain, terdapat 130 negara yang melegalkan hal itu.
Di Irak yang konservatif, LGBT merupakan topik tabu. Di negara itu, warga yang mengidentifikasi diri sebagai penyuka sesama jenis atau transgender menjadi target persekusi.
Beberapa tahun terakhir, partai-partai besar di Irak telah meningkatkan kritik terhadap hak-hak LGBT. Kritik seringkali melibatkan pembakaran bendera pelangi, lambang komunitas LGBT.
Baca juga: Hubungan Sesama Jenis di Irak Dapat Dihukum 15 Tahun Penjara
Selama ini, belum ada undang-undang tertulis yang secara eksplisit mengatur soal LGBT. Namun parlemen Irak baru saja meloloskan undang-undang yang akan membuat pelaku hubungan sesama jenis dapat dihukum 10 sampai 15 tahun penjara.
Tidak hanya hubungan sesama jenis, undang-undang itu juga akan mengkriminalisasi transgender atau “perubahan jenis kelamin biologis berdasarkan keinginan dan kecenderungan pribadi. Melalui undang-undang itu, orang-orang transgender dapat dipenjara sampai tiga tahun berdasarkan hukum anti-prostitusi tahun 1988.
Para dokter yang terlibat dalam operasi penggantian kelamin juga dapat dikenakan hukuman penjara sampai tiga tahun lamanya.
Undang-undang tersebut juga mencakup hukuman penjara selama tujuh tahun bagi mereka yang “mempromosikan” hubungan sesama jenis. Bagi organisasi yang mempromosikan homoseksualitas, mereka dapat dikenakan hukuman penjara 10 sampai 15 tahun.
Undang-undang tersebut turut memberlakukan hukuman penjara satu hingga tiga tahun bagi laki-laki yang secara sengaja berpenampilan atau berperilaku seperti perempuan.
Pengesahan undang-undang itu sebagian besar didukung oleh salah satu partai konservatif di Irak, Shi’ite Muslim. Partai ini merupakan koalisi terbesar dalam parlemen Irak.
Alasan munculnya undang-undang itu adalah untuk “melindungi masyarakat Irak dari kebobrokan moral dan seruan homoseksualitas yang telah melanda dunia”.
Mohsen Al-Mandalawi, ketua parlemen Irak, dalam pernyataannya mengatakan “tidak ada tempat bagi homoseksualitas di Irak, tanah para nabi, imam suci, dan orang-orang saleh".
Sebenarnya, isi undang-undang itu masih jauh lebih ringan daripada saat masih berbentuk rancangan. Rancangan undang-undang yang mengatur kriminalisasi hubungan sesama jenis pertama kali diajukan oleh Raad al-Maliki, anggota parlemen independen Irak pada tahun 2023. Mulanya, rancangan ini mencakup hukuman seumur hidup sampai dengan hukuman mati untuk pelaku hubungan sesama jenis. Namun pada akhirnya, rancangan ini diubah sebelum disahkan setelah mendapat kecaman dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa.
Meski begitu, undang-undang tersebut pada akhirnya tetap memperoleh kecaman dari berbagai belah pihak.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, menyatakan keprihatinannya atas undang-undang baru tersebut. Menurut dia, undang-undang itu dapat mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, menghambat kegiatan lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan mengurangi daya tarik Irak bagi para investor asing. Menurut Miller, undang-undang ini telah meremehkan hak asasi manusia dan keragaman ekonomi.