Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Hukum Rajam

Kompas.com - 28/09/2009, 04:31 WIB

Hamid Awaludin

Hari-hari ini, Aceh kembali menyita perhatian. Bukan karena kekerasan yang masih merebak, juga bukan karena soal tsunami.

Penarik pelatuk kehebohan adalah qanun yang dibuat DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam qanun itu, dibolehkan adanya hukuman rajam bagi pezina. Hukum rajam ini diklasifikasi sebagai bagian pelaksanaan syariat Islam.

Komentar yang menolak hukuman rajam kini bermekaran. Bahkan, ada yang menghubungkan, qanun itu adalah implementasi perjanjian damai antara Pemerintah RI dan mantan GAM di Helsinki tahun 2005.

Pandangan ini amat keliru. Pasalnya, selama tujuh bulan perundingan, baik perunding pemerintah maupun GAM sama sekali tidak membicarakan agenda syariat Islam. Bahkan, dalam putaran pertama perundingan pada Januari 2005, Malik Machmud, Ketua Juru Runding GAM, tegas mengatakan, perjuangan mereka bukan untuk mendirikan negara Islam. Nur Djuli, salah satu perunding GAM yang banyak mewarnai pembicaraan dalam putaran-putaran awal perundingan damai, juga tegas menolak jika GAM dianggap berjuang untuk penegakan syariat Islam.

Hukum rajam

Tiap bentuk hukuman dari sebuah sistem hukum seyogianya dipandang dari perspektif dinamika masyarakat. Memang ada masanya. Pada masa lalu, bentuk hukuman bagi siapa saja yang dinilai melanggar hukum adalah hukuman badan. Artinya, hukuman bagi pelanggar hukum adalah penyiksaan badan mereka. Pada zaman kuno, tiap orang yang dinilai bersalah, kedua kaki dan tangan diikat tali, lalu ditarik dua kuda yang berlawanan arah. Hasilnya, kaki-kaki dan tangan-tangan terpisah dari badan. Hukuman ini dijalankan karena saat itu filosofi hukuman adalah balas dendam dan fisik yang harus dihukum (M Foucault, Discipline and Punsihment, 1979).

Saat itu, bentuk hukuman penyiksaan atas fisik dilaksanakan karena bentuk masyarakat masih amat sederhana dan belum menemukan bentuk hukuman alternatif yang membutuhkan institusi. Salah satu contoh nyata dalam aspek kehidupan lain adalah transaksi ekonomi. Jual beli di pasar masih dilakukan dengan cara barter barang karena belum ditemukan sarana jual beli yang bernama mata uang. Sistem itu mengalami perubahan fundamental sejalan perkembangan masyarakat.

Namun, bentuk hukuman penyiksaan badan seperti itu telah menemui ajal selaras perkembangan masyarakat. Pelan-pelan, masyarakat kian rasional dan menemukan bentuk hukuman yang lebih manusiawi. Ini semua berpangkal dari cara berpikir masyarakat yang melahirkan sistem hukum dan bentuk hukuman. Dari sinilah muncul ide bentuk hukuman pidana penjara.

Maka, sejak abad XVIII, hukuman penyiksaan fisik atas pelaku kejahatan mulai dialihkan menjadi pidana kurungan badan. Ini karena filosofi hukuman pun mengalami pergeseran secara fundamental, dari konsep balas dendam menjadi rehabilitasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com