Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ) juga menyampaikan kekhawatirannya akan keputusan Israel tersebut. Direktur Program CPJ, Carlos Martinez de la Serna, mengkhawatirkan undang-undang tersebut akan “berkontribusi pada iklim sensor diri dan kebencian terhadap pers.”
Di sisi lain, Direktur Human Rights Watch untuk Israel dan Palestina, Omar Shakir, mengatakan kepada CNN bahwa keputusan Israel itu dapat membatasi akses publik terhadap informasi terkait realitas sehari-hari di Israel dan Palestina.
Ini bukanlah pertama kali Israel mengancam akan menindaklanjuti operasi Al Jazeera di Israel serta di wilayah Palestina yang didudukinya.
Pada pertengahan Oktober tahun lalu, pemerintah Israel menyetujui peraturan masa perang yang mengizinkan penutupan sementara media-media asing yang dianggap mengancam kepentingan negara.
Peran Pemerintah Qatar di Al Jazeera
Sebagian pendaan Al Jazeera bersumber dari pemerintah Qatar. Al Jazeera didirikan di Doha, Qatar, pada 1 November 1996 oleh Emir Qatar kala itu, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani. Al Jazeera saat itu menjadi media independen pertama di wilayah Arab. Sebelum Al Jazeera, Arab hanya memiliki media yang dikontrol negara sehingga hak publik untuk mengetahui dan didengarkan cenderung terabaikan.
Di tahun 2000, Al Jazeera telah tayang selama 24 jam sehari di lebih dari 20 negara, menjadikannya media unggulan untuk berita berbahasa Arab. Di tahun 2006, Al Jazeera meluncurkan cabang berbahasa Inggris. Al Jazeera kemudian meluncurkan Al Jazeera America untuk Amerika Serikat (AS) pada tahun 2013.
Al Jazeera memiliki slogan “Opini dan Opini yang Lain” yang menjelaskan upaya Al Jazeera dalam membawa perspektif yang beragam terhadap sebuah cerita. Bukan sekedar slogan, namun kalimat tersebut juga betul-betul direalisasikan oleh Al Jazeera.
Al Jazeera menjadi satu-satunya media yang memberitakan Timur Tengah tanpa sensor dan kebebasan editorial yang unik. Isu-isu sensitif di wilayah tersebut disajikan Al Jazeera selalu dengan sudut pandang yang berbeda.
Hal ini menuai kritik dari para penguasa dan pemerintah di Timur Tengah. Al Jazeera dinilai mengundang amarah bukannya memberikan informasi sebagaimana media harusnya berperan. Di tahun 2017, pemerintah Bahrain, Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab memberlakukan blokade ekonomi terhadap Qatar. Bersamaan dengan blokade tersebut, mereka juga mengajukan daftar tuntutan, salah satunya penutupan Al Jazeera.
Beberapa minggu setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, pemerintah Qatar diminta untuk menindaklanjuti Al Jazeera, kali ini oleh AS yang menilai Al Jazeera perlu “menurunkan volume” pemberitaannya di Gaza.
Menteri Luar Negeri, Antony Blinken, AS menyampaikan permintaan kepaga Qatar agar memoderasi liputan Al Jazeera terkait perang Israel dengan Hamas. Permintaan ini merupakan respon dari kekhawatiran bahwa Al Jazeera telah meningkatkan resiko konflik. Ada pula kekhawatiran AS tersebut adalah cerminan dari besarnya dampak liputan Al Jazeera terhadap opini publik di kawasan Arab.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.