Pernyataan Hashimoto, pemimpin partai politik konservatif yang sedang naik daun, itu membalikkan posisi politik Jepang menjelang dan selama Perang Dunia II terkait isu jugun ianfu
Senin (13/5), ia mengatakan, ’comfort women’ atau jugun ianfu—tepatnya, perempuan yang dipaksa menjadi pelacur di rumah-rumah bordil ’resmi’ (’comfort stations’)—diperlukan untuk ’memelihara disiplin’ dan memberikan hiburan kepada prajurit yang bertaruh nyawa di medan perang. Katanya, tak ada bukti jelas bahwa militer Jepang melakukan koersi terhadap perempuan-perempuan Asia yang dijadikan jugun ianfu.
Hashimoto malah mendorong pasukan Amerika Serikat (AS) di pangkalan militer AS di bagian selatan Jepang, Okinawa, meniru sistem ’comfort stations’ dengan membangun lebih banyak industri seks lokal untuk mengurangi pemerkosaan dan serangan seksual.
Pernyataan Hashimoto tentang jugun ianfu itu sejalan dengan penolakan PM Shinzo Abe atas fakta terjadinya kejahatan seksual oleh serdadu Jepang antara tahun 1938-1945 meskipun sekutu terbesarnya, AS, meloloskan resolusi yang mendesak pengakuan itu.
Abe—yang kembali berkuasa sejak akhir Desember 2012— tegas menyatakan akan menarik permintaan maaf yang dibuat Pemerintah Jepang pada masa lalu terkait isu ’comfort women’.
Pernyataan Hashimoto dan sikap PM Abe sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Antara tahun 1994-1997, beberapa pejabat tinggi Jepang juga menyatakan, ’comfort women’—yang jumlahnya mencapai 200.000 di berbagai negara Asia, termasuk Korea, Filipina, dan Indonesia—adalah relawan.
Benturan pandangan antara kelompok konservatif dan ultranasionalis dengan kelompok pendukung demokrasi terus terjadi sejak isu itu muncul di Asahi Shimbun tahun 1984 melalui tulisan wartawan dan feminis Jepang, Yayori Matsui (1934-2003).