Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penanda Arah Politik Jepang

Kompas.com - 19/05/2013, 03:57 WIB

OLEH JUGUN IANFU

Kejahatan perang terkait perbudakan seks oleh militer Jepang yang kembali disangkal melalui pernyataan kontroversial Wali Kota Osaka Toru Hashimoto bisa menjadi penanda arah politik Jepang di bawah pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe. x

Pernyataan Hashimoto, pemimpin partai politik konservatif yang sedang naik daun, itu membalikkan posisi politik Jepang menjelang dan selama Perang Dunia II terkait isu jugun ianfu.

Senin (13/5), ia mengatakan, ’comfort women’ atau jugun ianfu—tepatnya, perempuan yang dipaksa menjadi pelacur di rumah-rumah bordil ’resmi’ (’comfort stations’)—diperlukan untuk ’memelihara disiplin’ dan memberikan hiburan kepada prajurit yang bertaruh nyawa di medan perang. Katanya, tak ada bukti jelas bahwa militer Jepang melakukan koersi terhadap perempuan-perempuan Asia yang dijadikan jugun ianfu.

Hashimoto malah mendorong pasukan Amerika Serikat (AS) di pangkalan militer AS di bagian selatan Jepang, Okinawa, meniru sistem ’comfort stations’ dengan membangun lebih banyak industri seks lokal untuk mengurangi pemerkosaan dan serangan seksual.

Pernyataan Hashimoto tentang jugun ianfu itu sejalan dengan penolakan PM Shinzo Abe atas fakta terjadinya kejahatan seksual oleh serdadu Jepang antara tahun 1938-1945 meskipun sekutu terbesarnya, AS, meloloskan resolusi yang mendesak pengakuan itu.

Abe—yang kembali berkuasa sejak akhir Desember 2012— tegas menyatakan akan menarik permintaan maaf yang dibuat Pemerintah Jepang pada masa lalu terkait isu ’comfort women’.

Tidak mengejutkan

Pernyataan Hashimoto dan sikap PM Abe sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Antara tahun 1994-1997, beberapa pejabat tinggi Jepang juga menyatakan, ’comfort women’—yang jumlahnya mencapai 200.000 di berbagai negara Asia, termasuk Korea, Filipina, dan Indonesia—adalah relawan.

Benturan pandangan antara kelompok konservatif dan ultranasionalis dengan kelompok pendukung demokrasi terus terjadi sejak isu itu muncul di Asahi Shimbun tahun 1984 melalui tulisan wartawan dan feminis Jepang, Yayori Matsui (1934-2003).

”Sampai dengan penyelenggaraan People Tribunal tahun 2000, kelompok ultranasionalis meneriaki korban, ’pelacur, pelacur, kami membayarnya’,” ujar Koordinator Jaringan Kartini Asia Nursyahbani Katjasungkana dan utusan Indonesia dalam Tokyo Tribunal tahun 2000.

Istilah ’comfort women’ digunakan untuk melegitimasi perbuatan kriminal dalam perang, menyangkali upaya sistematis tentang praktik-praktik penipuan, ancaman, pemaksaan, dan penculikan korban.

Pemerkosaan massal

Sistem ’comfort stations’ dirancang untuk menanggapi terjadinya pemerkosaan massal oleh serdadu Jepang di Nanking, China, tahun 1937. Pengadilan Internasional Kriminal Perang untuk Timur Jauh di Tokyo, April 1946-November 1948, tidak menyinggung sistem perbudakan seksual yang dilakukan militer Jepang.

Pada tahun 1991, sejarawan Yoshiaki Yoshimi mengungkapkan dokumen kunci yang ditemukan dari Perpustakaan Lembaga Pertahanan Jepang di Tokyo tentang keterlibatan Tentara Kerajaan dalam sistem ’comfort stations’, termasuk ’hal-hal terkait pola rekrutmennya’.

Pada tahun 1992, PM Kiichi Miyazawa secara resmi meminta maaf kepada Korea Selatan disusul PM Tomiichi Murayama meminta maaf secara resmi kepada semua korban, khususnya dari Asia, tahun 1995.

Kembalinya penyangkalan terhadap isu ’comfort women’ dalam pusaran politik Jepang sebenarnya menjadi penanda yang lebih jauh dari situasi yang terus berkembang di Jepang sejak awal tahun 2000-an.

Abe dikenal dengan gagasan rencana reformasi pendidikan untuk memasukkan kembali indoktrinasi patriotisme Jepang ke sekolah. Japan Press Weekly (22/2/2012) menulis perkembangan terakhir ’purifikasi sejarah’ adalah dihapuskannya deskripsi tentang ’comfort women’ dan ’penjagalan orang’ di depan situs goa yang digunakan serdadu Jepang selama Perang Okinawa. Tahun 2007, fakta tentang koersi dan pemaksaan bunuh diri massal oleh tentara Jepang terhadap warga Okinawa dalam perang juga dihapus dari buku teks sejarah.

Salah satu prioritas Abe adalah memperkuat identitas nasional Jepang, mengembalikan kekuatan ekonomi Jepang, serta modernisasi personel dan peralatan militer. Dalam pidatonya di depan Center for Strategic and International Studies, ia menegaskan, ”Japan is Back!” (MoFA, 22/2/2013).

Rancangan serangkaian kebijakan untuk mereformasi ekonomi Jepang yang dikenal sebagai ”Abenomics” dirasa memberikan harapan sejak kemajuan ekonomi negeri itu diambil alih China, ’musuh historis-’nya, dengan pertumbuhan kedua tertinggi di dunia.

Namun, editorial The Washington Post (23/4/2013) yang membuat tinjauan atas kebijakan itu mengingatkan pernyataan kontroversial Abe tentang politik agresi Jepang selama perang. Sejarah bisa diinterpretasi ulang, tetapi adalah fakta bahwa Jepang menduduki Korea, Machuria, dan seluruh China sebelum menginvasi Malaya.

Pertajam kontroversi

Kontroversi itu dipertajam dengan pembelaan Abe pada anggota kabinet dan parlemen yang berkunjung ke Yashukuni Shrine. Ia terakhir berkunjung ke Yashukuni pada Oktober tahun lalu ketika menjadi pemimpin oposisi.

Yashukuni Shrine adalah sebagai pusat badai politik, terkait ingatan pascaperang, yang memengaruhi politik dalam negeri Jepang serta hubungan dengan tetangganya, khususnya China dan Korea.

Kuil Shinto itu dibangun tahun 1869 di Tokyo untuk memberikan penghormatan atas 2,5 juta serdadu yang tewas di garis depan medan perang. Di antara sekitar 18.000 serdadu yang dikeramatkan, terdapat 14 kriminal perang kelas A yang dinyatakan sebagai penjahat perang.

Meski indikasi kebangkitan kembali militer Jepang semakin menguat dalam pemerintahan Abe, sebenarnya hal itu hanya memperjelas pertanda sejak awal tahun 2000-an ketika PM Junichiro Koizumi (2001-2006) mengirim kapal perang untuk membantu AS menaklukkan Afganistan tahun 2004.

Dalam Daily Yomiuri Online (21/10/2010) ditulis, Menteri Pertahanan Toshimi Kitazawa secara tegas menyatakan niatnya untuk meninjau ulang tiga prinsip pelarangan ekspor senjata, kecuali untuk kepentingan teknologi persenjataan ke AS dan beberapa ketercualian lain. Panduan Program Pertahanan Nasional yang baru telah disiapkan pemerintahan sebelumnya.

Tampaknya, di bawah PM Abe, revisi Artikel 9 Konstitusi (Baru) Jepang setelah Jepang kalah perang—yang menyatakan, Jepang tidak akan lagi terlibat dalam perang, kecuali untuk mempertahankan diri—semakin dekat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com