Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memanfaatkan Faktor Obama

Kompas.com - 09/11/2012, 03:28 WIB

Oleh Dinna Wisnu

Selamat Presiden Barack Obama. Dalam 49 hari, Anda harus selesaikan problem defisit fiskal 600 miliar dollar atau Amerika Serikat akan ambruk lagi dalam resesi”. Demikian tulis John Schoen dalam NBC News segera setelah pengumuman kemenangan Obama atas Mitt Romney.

Partai Komunis China mengirim ucapan selamat, tetapi di sisi lain muncul pernyataan bahwa siapa pun pemimpin di AS tetap harus tahu bahwa China sudah menentukan pilihan untuk bergeming atas desakan-desakan AS. Para komentator dari China menegaskan, suka atau tidak, AS harus bisa menerima kehadiran China sebagai kekuatan adidaya baru di dunia.

Di Timur Tengah, para pengamat dari Iran lebih banyak prihatin. Iran bersiap untuk menghadapi Obama yang lebih tegas, tetapi tidak melihat alasan bagi Iran untuk duduk dalam meja perundingan dengan AS terkait apa pun.

Reaksi-reaksi di atas menggambarkan beratnya tugas Presiden Obama. Dengan segala tekanan yang demikian besar, apa posisi yang akan diajukan Indonesia kepada AS?

Indonesia-AS

Melalui payung kerja sama bilateral Indonesia-AS, The US-Indonesia Comprehensive Partnership, sudah tergaris sejumlah program kemitraan. Misalnya, dalam hal investasi di bidang infrastruktur, AS sudah berjanji mengucurkan dana maksimal 5 miliar dollar AS, termasuk untuk 13 sektor di Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan pembangunan empat pabrik etanol kerja sama Pertamina dan Cenalese Corporation.

Ada juga 5 juta dollar AS untuk kemitraan di bidang pendidikan, lengkap dengan rangkaian rencana untuk menyentuh 32 lembaga pendidikan di Indonesia. Juga pembangunan pusat perubahan iklim dan proyek-proyek pengembangan energi terbarukan. Tahun lalu dan awal tahun ini, AS sudah mendanai berbagai kunjungan pejabat Indonesia untuk pengembangan kemitraan perdagangan dan kewirausahaan. Artinya, jalur kerja sama Indonesia-AS sudah terbangun dan dibayar uang mukanya.

Pertanyaannya, apakah semua ini semata proyek di mata pejabat negara kita? Apakah ada nilai tambah yang bisa diinjeksi sehingga proyek-proyek itu menguntungkan Indonesia?

Kepentingan Indonesia dan AS jelas berbeda. Indonesia dalam 5-10 tahun ini punya tugas membenahi segala sistem aturan, pengawasan dan jejaring kemitraan antara ragam instansi pemerintah (pusat ataupun daerah) dan lembaga-lembaga pendidikan serta kemasyarakatan. Tentu bukan sekadar untuk beres-beres, Indonesia berkepentingan untuk melicinkan jalan menuju pemantapan status negeri ini sebagai negara besar yang mantap demokrasinya, damai, dan sejahtera masyarakatnya.

Kalau kemitraan dengan AS cuma jadi proyek belaka, ini pemborosan peluang. Tidak sekali dalam 100 tahun muncul peluang kemitraan yang demikian lengkap dan saling berkaitan. Bayangkan potensinya jika berbarengan dengan kemitraan itu pemerintah mengucurkan dana dan perhatian juga untuk mengembangkan energi terbarukan. Juga mengatur koordinasi dengan aktor-aktor di dalam negeri dengan segala ketegasan dan kejelasan arah.

Tak hanya problem pembengkakan subsidi BBM bisa diatasi secara bertahap, akan terjadi pula proses transfer pengetahuan yang melibatkan banyak pihak. Uni Eropa dan sejumlah negara di Amerika Selatan niscaya akan lebih tertarik untuk ikut berinvestasi di Indonesia. Mereka sudah menjajakan berbagai ”dagangan” teknologi terbarukan ke Tanah Air, tetapi masih kesulitan merealiasikan ide-idenya.

Jika pemerintah membenahi sistem kemitraan tripartit antara asosiasi pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah sambil memperluas jejaring kerja sama perdagangan, investasi, dan industrialisasi dengan AS serta negara-negara lain yang disegani AS, secara bertahap para pekerja dan sektor usaha Indonesia disiapkan untuk bertransformasi jadi sayap-sayap usaha yang tangguh.

Jika pemerintah tidak mengedepankan politik dalam penentuan upah dan produktivitas buruh serta perusahaan, dan lebih serius menerapkan serta memantau ukuran-ukuran ekonomi di situ, pupus pula segala kecaman antara Apindo dan serikat buruh yang selama ini sering dijadikan alasan bagi perusahaan asing untuk lebih menekan Indonesia. Bukankah Duta Besar AS mengakui bahwa pada dasarnya pengusaha AS betah beroperasi di Indonesia.

Menjadi mitra artinya menjadi kawan yang sejajar. Berarti Indonesia tidak boleh cuma menadahkan tangan dalam kerja sama dengan AS. Jangan lupa, AS sedang membutuhkan dukungan Indonesia untuk memuluskan agenda-agendanya di Asia. Kalau Indonesia berkomitmen menegakkan politik luar negeri yang bebas aktif, ruang pandang Indonesia harus luas dan jauh.

Contohnya dalam konteks ASEAN. Kalau Indonesia mau dan ini terbukti sudah terlaksana, perdagangan antarnegara di kawasan ASEAN dapat diintensifkan. Keuntungannya bisa dirasakan sekarang, Indonesia tidak lagi terlalu bergantung pada surplus perdagangan dengan China, Jepang, atau AS. Meskipun perekonomian AS dan Uni Eropa seret, kita masih bisa menggenjot pertumbuhan.

Harus cekatan

Ke depan kita harus siap dengan konsekuensi pilihan AS dan negara-negara tetangga. Misalnya di ASEAN, program lumbung bersama belum menunjukkan kemajuan berarti, proteksi produk pertanian makin tinggi, padahal perubahan iklim dan kebijakan pertanian setiap negara jelas mengikis stok pangan dan menimbulkan inflasi harga pangan. Dalam hal energi fosil, jelas Indonesia harus berani menegosiasikan ulang dengan cara yang elegan berbagai skema penjualan gas, batubara, dan minyak bumi karena kebutuhan domestik jelas harus meningkat untuk revitalisasi industri.

Di bidang manufaktur, karena Obama akan ”menghukum” perusahaan AS yang mengekspor pekerjaan ke luar negeri, maka kita harus siap jika terjadi relokasi dari perusahaan besar, seperti Nike dan Adidas. Soal ketenagakerjaan kita pun perlu mengantisipasi migrasi pekerja dari negara lain.

Waktu terus berganti dan pergantian itu bergulir dengan makin cepat. Kita melihat sendiri bahwa semakin maju demokrasi, makin tinggi pula harapan masyarakat pada pemimpinnya dan semakin pendek jangka waktu yang diberikan untuk membenahi kemelut yang dialami masyarakat. Beragam urusan mikro di tataran individu dan keluarga, seperti upah, potongan pajak, dan punya asuransi kesehatan atau tidak pun seperti kita saksikan di AS, bisa di-blow-up hingga Obama menghabiskan dana kampanye 645 juta dollar AS. Ini rekor tertinggi dana kampanye sepanjang sejarah AS.

Jadi, mari semua menyikapi hari ini sebagai hari baru dengan kecekatan baru pula. Dengan demikian, ketika besok China, Iran, Suriah, atau negara di belahan dunia lain mengaduk lagi konstelasi politik ekonomi dunia, kita sudah punya instrumen yang lebih baik untuk melindungi kepentingan Indonesia. Faktor Obama akan kedaluwarsa dalam waktu sangat dekat.

Dinna Wisnu ”Cofounder” dan Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com