Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Obama Jilid II dan Capres Ke-7 RI

Kompas.com - 09/11/2012, 03:26 WIB

Protokol antipenistaan agama yang disampaikan di PBB oleh Presiden Yudhoyono menimbulkan reaksi tidak nyaman karena tidak populer di mata pejuang HAM dan kebebasan berekspresi. Seharusnya yang diajukan Yudhoyono adalah Protokol Kompetisi Damai Antar-Peradaban, di mana Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar secara proaktif mendamaikan Israel-Palestina.

Amerika Serikat berkepentingan untuk mencabut sampai ke akar-akarnya alibi, dalih dan alasan kaum radikal, teroris-ekstremis, teroris model Taliban dan Al Qaeda. Sejak peristiwa atau tragedi 9/11, lebih dari Rp 1 triliun per tahun dikeluarkan oleh Amerika Serikat untuk berperang melawan terorisme. Osama bin Laden memang telah terbunuh, tetapi akar ideologi kekerasannya tetap menyala. Terbunuhnya Duta Besar Christopher Stevens di Benghazi, Libya, adalah salah satu contoh kasus.

Indonesia sebagai negara berfalsafah Pancasila sekaligus menjadi sumber dan korban para teroris, yang sebagian adalah orang Indonesia dan sebagian lagi dari tetangga (baca: Malaysia) yang bersenjatakan dogma fanatisme dan merasa bisa menjadi Tuhan terhadap sesamanya. Ini istilah yang dipakai oleh Dr Musdah Mulia ketika menerima Penghargaan Nabil atas kegigihannya mempertahankan asas kemajemukan di Indonesia.

Indonesia bisa berperan

Menteri Perdagangan Gita Irawan Wirjawan dalam reaksi singkatnya menyatakan, Indonesia sekarang ini harus siap menghadapi penciutan ekonomi Amerika Serikat yang akan lebih memprioritaskan masalah domestik Obama dengan kemenangan ini akan melanjutkan politik pemerataan yang berisiko menciutkan ekonomi AS karena masyarakat akan disedot pajaknya secara lebih intensif, terutama untuk golongan menengah ke atas. Ekonomi Robin Hood yang dipraktikkan Demokrat pasti akan semakin membawa postur ekonomi Amerika Serikat lemah dan tidak menguat.

Dalam posisi seperti itulah sebetulnya AS dan Obama membutuhkan Indonesia. Tentu saja tidak dengan gratis. There is no free lunch in the world you have to pay for your lunch.

Perang teror yang dilatarbelakangi konflik Israel-Palestina harus dituntaskan dan diselesaikan sampai ke akar-akarnya. Indonesia bisa menawarkan diri menjadi juru damai Israel-Palestina. Presiden Yudhoyono bisa mondar-mandir bertemu Israel, Hamas, Fatah, dan Obama.

Biaya perang teror dan derivatifnya di Afganistan, Irak, Libya, dan gejolak di Suriah memakan dana triliunan dollar AS. Kalau Indonesia dengan mengandalkan diplomasi soft power dan proaktif menerapkan amanat Pancasila, maka soft power geopolitik dan the largest Moslem Democracy nilainya setara dengan kemitraan strategis AS-RI untuk mendamaikan Timur Tengah. Juga mengawal perdamaian di Laut China Selatan.

Peluang geopolitik ini hanya bisa dinikmati oleh Presiden Indonesia, bukan oleh Vladimir Putin atau Xi Jinping. Momentum perdamaian Israel-Palestina diperkuat dengan terpilihnya kembali Obama. Jika ini tidak dimanfaatkan, maka tidak ada gunanya nostalgia Barry si murid SD Besuki menjadi Presiden AS.

Christianto Wibisono CEO Global Nexus Institute

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com