Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelembagaan Pangan

Kompas.com - 27/09/2012, 03:48 WIB
Oleh Khudori

Mengapa pangan di negeri ini selalu dirundung masalah? Seperti penyakit laten, pelbagai masalah pangan timbul-tenggelam.

Saya sepenuhnya setuju atas lima hal pokok—pola makan yang keliru, beleid berorientasi pasar, penyerahan semua urusan pangan ke daerah, hanya memikirkan konsumen, dan alpa memikirkan konsekuensi keberhasilan—yang ditulis Sapuan Gafar (Kompas, 1/8/2012) yang membuat pangan selalu berselimut kemelut.

Tiga hal yang dielaborasi Prof Ahmad Erani Yustika (Kompas, 19/7/2012), yaitu ketergantungan impor, konsentrasi distribusi, dan lemahnya peran stabilisasi Bulog, membuat potret acak-adul pangan kian komplet. Namun, elaborasi itu belum cukup untuk membongkar apa sesungguhnya akar masalah pangan kita. Ada satu sumbu utama yang membuat pangan acak-adul: keterputusan kelembagaan pangan.

Kontradiktif

Kelembagaan adalah aturan main, baik bersifat struktural maupun kultural. Kelembagaan lebih luas dari sekadar organisasi. Sebagai aturan dan hak yang tegas memberikan naungan, sanksi, dan konstrain terhadap individu-individu dan kelompok dalam menentukan pilihan. Kelembagaan dapat diprediksi, stabil, dan dapat diaplikasikan pada situasi berulang (Arifin, 2012).

Sebagai kebijakan publik, kelembagaan (pangan) bisa disidik dari tiga tingkatan: politis-strategis (kebijakan), organisasi (institusi dan aturan main), dan implementasi (untuk evaluasi dan umpan balik). Pada level politis-strategis, UUD 1945 mengamanatkan negara menyediakan penghidupan yang layak bagi warga, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, akses pendidikan, dan hak dipelihara bagi fakir miskin dan anak-anak telantar. Pendek kata, konstitusi mengakui pangan merupakan kebutuhan dasar yang asasi. Pemenuhannya menjadi kewajiban (mutlak) negara.

Masalahnya, UUD 1945 tidak selalu jadi acuan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang mencakup kebijakan dan tata kelola organisasi pemerintah di bidang pangan meletakkan pangan sekadar ”soal teknis”. Pangan hanya diletakkan pada satu sudut (sektor) bukan masalah sentral. Seharusnya, sebagai bagian usaha negara memenuhi hak warga, pangan harus diperlakukan sebagai soal hidup-mati, seperti disampaikan Bung Karno saat meletakkan batu pertama Fakulteit Pertanian IPB, 27 April 1952. Sebagai soal hidup-mati, pangan merupakan masalah bangsa, bukan sektoral.

Pada level organisasi, Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang diketuai Presiden dan secara harian diketuai Menteri Pertanian merupakan kelembagaan tertinggi di bidang pangan. Selain Bulog dan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), DKP melibatkan 14 menteri yang terkait langsung soal pangan.

Di Thailand, lembaga serupa bernama National Food Commision (NFC) membawahkan 11 kementerian. Berkat kinerja NFC, pangan di Thailand maju luar biasa. Indonesia sebaliknya. Masalah terjadi karena gerak DKP sehari-hari diserahkan kepada eselon I: Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) di Kementerian Pertanian. Jangankan menggerakkan menteri terkait, mengoordinasikan sesama pejabat eselon I lintas kementerian saja BKP tak berdaya.

Akhirnya, terjadilah kontradiksi yang tidak masuk akal: pangan yang amat strategis dan multisektoral hanya diurus pejabat setingkat dirjen. Ketua DKP yang mestinya dirjen justru mati suri. Jadi, secara organisasi masalahnya bukan pada kewenangan, melainkan soal kepemimpinan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com