Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masalah Buruh Migran

Kompas.com - 02/05/2012, 04:27 WIB

Oleh Anis Hidayah

Peringatan Hari Buruh Sedunia merupakan momentum kebangkitan gerakan buruh di seluruh dunia.

Di Indonesia, peringatan Hari Buruh kembali menegaskan pembiaran negara terhadap penindasan buruh pada berbagai level, mulai dari praktik outsourcing, union busting, diskriminasi buruh perempuan, hingga upah. Tidak berbeda dengan nasib buruh di dalam negeri, buruh migran Indonesia juga masih mengalami eksploitasi, diskriminasi, perbudakan, dan pelanggaran HAM serius.

Beberapa hari terakhir Pemerintah Indonesia bahkan kalang-kabut menyikapi tuntutan keluarga tiga buruh migran asal Nusa Tenggara Barat yang jadi korban penembakan polisi Malaysia. Upaya Kementerian Luar Negeri mengirim tim ke Malaysia untuk mengumpulkan informasi—padahal Kedubes RI di Kuala Lumpur sejak 3 April sudah menerima informasi kematian tiga buruh migran tersebut—ditambah proses otopsi yang lambat, kian menunjukkan sikap pemerintah yang reaktif, sporadis, dan selalu tak tuntas dalam menghadapi persoalan buruh migran.

Dianggap musibah

Kalau tidak ada tuntutan keluarga, mungkin saja Pemerintah Indonesia tidak mengupayakan protes kepada Malaysia, apalagi mengusut penembakan tiga warga negaranya. Sungguh ini sebuah kelalaian fatal yang tidak hanya berdampak pada hilangnya penghormatan negara lain terhadap buruh migran Indonesia, tetapi juga melecehkan martabat dan kedaulatan bangsa.

Ironis memang! Kematian buruh migran selalu saja dilihat sebagai musibah semata. Setidaknya itulah salah satu pernyataan dari pejabat Kemenlu RI saat menerima keluarga tiga buruh migran, Koslata, dan Migrant Care pada 23 April 2012. Padahal, dalam ketentuan UU No 39/2004 Pasal 73 Ayat (2) tentang penempatan dan perlindungan TKI, aturan tentang prosedur tetap penanganan buruh migran yang meninggal di luar negeri sangat jelas.

Pertama, kewajiban untuk memberitahukan kematian TKI kepada keluarganya paling lambat 3 x 24 jam sejak kematiannya diketahui. Kedua, mencari informasi tentang sebab-sebab kematian. Ketiga, memulangkan jenazah TKI ke tempat asal secara layak serta menanggung semua biaya, termasuk biaya penguburan. Keempat, memberikan perlindungan terhadap seluruh harta TKI untuk kepentingan anggota keluarga. Kelima, mengurus pemenuhan hak-hak TKI yang seharusnya diterima.

Mengikuti penjelasan di atas, tampaklah kelalaian KBRI Kuala Lumpur dalam menangani ketiga buruh migran tersebut. Pemulangan jenazah diurus oleh perusahaan jasa di Malaysia dan masing-masing keluarga harus membayar Rp 13 juta.

Melalui surat KBRI Nomor 0817-0818-0819/SK-JNH/04/2012 yang ditandatangani Heru Budiarso, sekretaris kedua konsuler, dinyatakan bahwa KBRI, karena kondisi yang tidak memungkinkan, tidak melakukan pengecekan atas sebab-sebab kematian.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com